Senin, 09 April 2012

“Philosophy Of Science”

CRITICAL REVIEW

Judul Buku  : “Philosophy Of Science”
Pengarang   : Alexander Bird’s
Tahun          : 1998
Penerbit       : University College London (UCL)
ISBNs          :1-85728-681-2 HB
                      1-85728-504-2 PB


Buku  Alexander Bird's “ Philosophy of  Science” merupakan buku pengenalan secara umum tentang filsafat dari  ilmu pengetahuan, atau juga bisa di katakan bahwa buku ini mengenalkan semua bidang inti dari filsafat . Dalam Pendahuluan Bird’s mengungkapkan  bahwa selagi positivis dan program-program yang terkait  yang digagalkan untuk mengembangkan filsafat dari ilmu pengetahuan dibangun dari satu dasar empiris atau perhitungan logika induktif .
Sejarah pendekatan filosofi Sosiologis dari ilmu pengetahuan, mengasilkan banyak metoda, bersama dengan relativisme dan memisahkan diri dari filsafat utama.  Bird’s memulai sebuah jalan tengah yang bijaksana, yaitu pemikiranya merupakan tren saat ini dalam filsafat ilmu pengetahuan yang berorientasi pada kekhawatiran filosofis, meskipun dengan penuh apresiasi dan kepekaan terhadap sejarah dan faktor sosiologis.Alexander Bird's menyambut pergeseran ini kembali keawal dan berharap bahwa pengenalan tidak hanya akan menjelaskan langkah tapi berkontribusi untuk pemikiran baru dalam ilmu pengetahuan .Pembagian buku mewakili orientasi ini dengan baik. Bagian Satu, berjudul Penyajian, dirancang terutama sebagai pembahasan isu-isu metafisik tentang bagaimana dan apa yang para ilmuwan lain sampaikan mencoba untuk mewakili, menunjukkan dan memisahkannya.
Bagian Dua, Alasan, merupakan alamat  epistemolog. Ia mengarahkan untuk menunjukkan bahwa satu externalist, sedang menetralkan epistemology  dapat dengan baik meliput bagaimana ilmu pengetahuan, yang tidak memiliki metoda yang unik, tetapi sungguh maju. Oleh para pengamat, para ilmuwan sekarang ini; menunjukkan dunia dalam kaitan dengan menggunakan istilah kategori-kategori yang berikut, yang merupakan sebutan: “Hukum dari Alam” , “Penjelasan”,“Jenis Alami” dan “Realisme” .
Prospek-Prospek dan permasalahan untuk satu epistemology dari ilmu pengetahuan jatuh di bawah konsentrat  sebagai berikut: “Keragu-raguan Yang Induktif” , “Kemungkinan dan kesimpulan ilmu” , “Pengetahuan yang induktif”  dan “metoda dan Progress” .Masing-masing pasal  berakhir dengan daftar pendek yang diusulkan untuk dibaca.
Permasalahan induksi yang  dihubungkan dengan isu-isunya akan menginformasikan sebagian besar jalan yang di pikirkan dengan pertanyaan. Sebagai contoh, di dalam pendahuluan,  yang diberi judul “Sifat alami Ilmu” , di mulai dengan pertanyaan yang biasa “Apa ilmu ?” untuk jawaban  dimulai dengan  mengerti induksi, Cara Brid’s menjelaskannya berbeda dengan Hakim William R. Overton  yang memimpin kasus yang terkenal di Arkansas,  yang menyampaikan bahwa hukum dibawa  berusaha untuk memiliki kreasionisme yang harus diajarkan bersama teori evolusi kepada mahsiswa sebagai dasar fisafat ilmu pengetahuan yang merupakan standart prinsip yang membedakan ilmu dengan kegiatan lain. Menurut Berd’s  bahwa kriteria ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh Overton harus dipandu  oleh hukum alam, 1) harus jelas dalam referensi untuk hukum-hukum alam/sesuai dengan hukum alam,  2)   penjelasannya dengan acuan hukum alam,  3)  dapat diuji di dunia pengalaman, 4)     kesimpulannya bersifat tentative , dan   5)  dapat diverifikasi.Jadi tidak hanya menyediakan teori untuk dasar penyelidikan akan tetapi juga menunjukkan mengapa jawaban jatuh ke dalam dua kategori.
Dalam buku tersebut disampaikan bahwa salah satu tujuan dasar dari ilmu adalah untuk memberikan representasi yang akurat dari dunia, apa yang ada di dalamnya, bagaimana mereka berinteraksi, apa yang menjelaskan apa, dan sebagainya.   pertanyaan, kedua mempertimbangkan  Berapa banyak yang dapat ilmu  penalaran memberitahu kita tentang dunia?
Ilmu, dipandu oleh induksi, mewakili dunia dalam berbagai cara dan berbagai cara penalaran tentang apa yang ada di dalamnya. Induksi dinamai untuk bentuk penalaran yang berbeda dari ilmu-ilmu alam, seperti kimia, meteorology, dan geologi dengan matematika, seperti aljabar dan geometri. Pengetahuan ilmiah dikembangkan dengan jalan yang berbeda dengan matematika. Bila ilmu-ilmu alam tergantung dari data yang diperoleh melalui observasi, sedangkan matematika dikembangkan berdasarkan teori umum yang sudah ada.
Istilah induktif dipergunakan paling tidak untuk 2 hal yang berbeda. Dalam arti yang sangat luas, iduktif artinya non-dedutif.  Dalam arti yang sempit induksi dipakai untuk menamai suatu argument ilmiah yang spesifik.
Teori ilmiah tidak dimiliki oleh pengetahuan non ilmiah maupun ilmu semu. Para filsuf menggolongkan pengetahuan ilmiah menjadi dua, yaitu pengetahuan  a priori dan pengetahuan a posteriori .  Pengetahuan a priori merupakan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan hasil pemikiran semata tanpa didasarkan pada pengalaman (metode deduksi).  Sedangkan pengetahuan a posteriori merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman (metode induksi).
Setiap bab dalam buku ini memberikan penjelasan singkat dari topik yang dibahas, diperkenalkan juga isu-isu dan topik terungkap  secara argumentative atau pararel dengan sejarah berbagai pekembangan. Di dalam pembuktiannya dari bab-bab diatas Berd’s tidak saja melakukan survey dengan berbagai posisi, tetapi seringkali  bertanya dengan perspektif sendiri, yang biasanya muncul sebagai wakil dari filosuf lain, pada penjelasan berikutnya kita tahu bahwa keteraturan lisensi generalisasi tentang dunia dan tampaknya akan menawarkan wawasan ke dalam Hukum Alam, namun, tidak semua keteraturan adalah seperti hukum. Sementara kita mungkin ingin menjadi  minimalis tentang keteraturan.
Dalam penjelasannya Hukum alam bukan hasil karya ilmuwan, tugas ilmuwan adalah menemukan hukum  alam dan menjelaskannya dalam teori ilmiah. Penjelasan-penjelasan tentang hukum alam adalah sebagai berikut.
1.  Minimalism about the law – the Simple Regularity Theory
Menurut the Simple Regurality Theory, hukum alam itu sama dengan keteraturan. Adalah suatu hukum bahwa Fs adalah Gs jika dan hanya jika semua Fs adalah Gs. Problem yang dapat timbul berkenaan dengan keteraturan yang simpel adalah keterbatasannya untuk menjelaskan berbagai fenomena.
2.  Regularities that are not laws
Tidak setiap keteraturan sebagai hukum. Suatu keteraturan bisa saja terjadi karena faktor kebetulan.
3.  Laws and counterfactuals
Hukum mendukung keberlawanan fakta. Contoh mobil Freddie berwarna hitam dan ketika dia membiarkannya di bawah terik sinar matahari, mobil itu menjadi panas. Ada pernyataan yang berlawanan dengan fakta, yaitu: jika mobil Freddie berwarna putih maka mobil itu akan lebih lama panasnya.
4.  Laws that are not regularities – probabilistic laws
Ada beberapa keteraturan yang bukan merupakan hukum alam, yaitu: 1) accidental regularities (keteraturan-keteraturan secara kebetulan, 2) contrived regularities (keteraturan-keteraturan  yang disusun). 3) uninstantiated trivial regularities (keteraturan-keteraturan yang sepele), dan 4) computing functional regularities.
Ada hukum yang menunjukkan adanya ketidak teraturan.  Hukum ini merupakan hukum yang umum dalam fisika nuklir. Yang berlaku dalam fisika nuklir adalah probabilitas atau peluang.
Disampaikan juga bahwa satu fungsi ilmu adalah fungsi deskriptif, yaitu menjelaskan fenomena yang menjadi objek kajiannya. Ada beberapa macam penjelasan yaitu : 1. penjelasan sebab-alibat, 2. penjelasan nomic (penjelasan dalam hubungannya dengan hukum alam, 3. penjelasan secara psikologis, 4. penjelasan secara psikoanalitis, 5. penjelasan model Darwin, dan 6. penjelasan fungsional.  Menurut Hempel, penjelasan adalah prediksi setelah suatu kejadian dan prediksi adalah penjelasan sebelum kejadian.
            Menurut Berd’s keteraturan yang sederhana (the Simple Regularity) sebagai epistemis yang dapat diakses sebagai hukum, sedangkan Hukum probabilistik tampaknya tidak sesuai dengan the Simple Regularity tidak memadai sebagai sebuah kejadian dari hukum keteraturan Atau, minimalis mungkin ingin menyampaikan cara untuk keteraturan sistematis efciently sehingga mereka mampu untuk menggambarkan fakta-fakta yang diperlukan.
            Akhirnya, teori Keteraturan, sederhana atau ditambah, tidak dapat menjelaskan contoh keteraturan cara kita untuk mengharapkan hukum alam. Kita membutuhkan sesuatu seperti kebutuhan, yang mungkin menunjukkan bagaimana kehadiran satu properti membawa lain. Namun, tampaknya untuk menganalisis kebutuhan (atau necessitation antara universal) tanpa bergantung pada konsep keteraturan.
Namun, mengingat buku ini penekanan pada pendekatan kontemporer masalah induksi, yang dapat dimengerti secara tepat. Meskipun dijelaskan Jenis Alam yang disajikan dalam konteksmengklasifikasikan macam-macam hal yang ada di dunia,pendekatan kontemporer induksi yang ada di latar belakang .Dan memang di bagian lain dari buku ini, Hukum menghubungkan jenis alami. Induksi dapat dilihat sebagai inferensi terhadap penjelasan hukum, Oleh karena itu jenis alami adalah jenis orang harus membuat penggunaan dalam kesimpulan induktif, atau memiliki kecenderungan alami untuk membuat kesimpulan induktif dengan intuitif, pandangan umum kontemporer filsafat ilmu yang memahami jenis alam dapat membawa kita kepada beberapa jalan menuju perhitungan  yang lebih baik dari induksi, tetapi beberapa telah bertanya-tanya apakah diskusi alami jenis dalam cara ini tegang. Meskipun demikian, sebagai pendahuluan bab ini menyala masalah dengan cahaya diskusi saat ini dan ia melakukannya dengan baik. Bahkan, kekuatan utama dari pendahuluan ini adalah diskusi yang jelas dan ringkas dari terakhir perkembangan dalam filsafat ilmu. Dari bagian yang konstruktif empirisme (yang berpendapat  berjalan kandas dalam mencoba untuk memahami kesimpulan dari bukti, maka yang kuat ,meskipun tidak kritis, ketergantungan pada Inferensi ke Penjelasan terbaik).
Akhir bahasannya menyampaikan Penjelasan Terbaik dan Metode Ilmiah. Bilamana suatu teori ilmiah dapat memberikan penjelasan dengan baik tentang fenomena yang jadi sasarannya?. Dengan pendapatnya  Bill Newton-Smith telah mengidentifikasi 8 ciri teori ilmiah yang mampu digunakan untuk memberikan penjelasan dengan baik, yang bisa digunakan acuan dalam memilih suatu teori, yaitu:
a. Observational nesting. Suatu teori seharusnya mempunyai paling tidak konsekuensi observasi  yang sama dengan teori-teori sebelumnya.
b. Fertility. Suatu teori seharusnya terbuka  untuk diuji dan dikembangkan.
c. Track-record. Suatu teori hendaknya memiliki keberhasilan pada waktu-waktu  sebelumnya.
d. Inter-theory support. Suatu teori seharusnya terintegrasi dan memberikan dukungan pada teori-teori lainnya.
e.  Smootness. Jika suatu teori tidak sesuai dengan fenomena yang dijelaskannya hendaknya terbuka untuk dilakukan perbaikan.
f.  Internal consistency.  Suatu teori hendaknya memiliki konsistensi internal.
g. Compaibilitywith well-grounded metaphysical beliefs. Suatu teori hendaknya konsisten dengan asumsi-asumsi umum atau metafisis tentang dunia.
h. Simplicity. Teori  yang simpel lebih baik dari pada teori  yang rumit.
Ada aspek lain dari investigasi ilmiah yang membedakannya dari bukan pengetahuan ilmiah. Overton telah menyatakan penjelasan-penjelasan ilmiah mencakup hukum-hukum alam dan membentuk hipotesis yang dapat diuji dengan bukti-bukti empiris. Dan hal itu bertentangan dengan penjelasan-penjelasan yang bersifat supernatural.  Dengan penjelasan-penjelasan ilmiah yang terus dikembangkan melalui verifikasi ilmiah maka ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Penjelasan akhir inilah yang sebetulnya ingin di capai oleh Alexander Bird’s
            Buku ini memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahani ilmu, atau ilmu pengetahuan, sehingga akan mempermudah di dalam menetapkan metode-metode dalam pemecalahan masalah.
   





DAFTAR PUSTAKA
Asmoro Achmadi., 2010., Filsafat Umum, Rajawali Pres, Jakarta
Almasdi Syahza, 2009., Metodologi Penelitian, Pusbangdik Unri, Pekanbaru
Amroeni Drajat, 2006., Filsafat Islam, Erlangga, Jakarta
Branner, Julia, 2002, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif,
Pustaka Pelajar, Samarinda
Burhanuddin Salam, 2000, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Rineka Cipta,Jakarta.
------------------------------, 2010, Pengantar Filsafat, Bumi Aksara, Jakarta.
Capra, Fritjop, 1998, Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan.Kebudayaan, Terjemahan M. Thoyibi, Yayasan Bentang Budaya,Yogyakarta
Himsworth, Harold, 1997, Pengetahuan Keilmuan dan Pemikiran Filosofi,
(Terjemahan Achmad Bimadja, Ph.D), ITB Bandung, Bandung
Ibrahim Madkour, 2009., Aliran da Teori Filsafat Islam, Bumi Aksara, Jakarta
Ida bagoes Mantra, 2008., Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, Pustaka Pelajar, Yogjakarta
Ismaun, 2002, Filsafat Ilmu, Materi Kuliah, ITB (Terbitan Khusus), Bandung
Jammer, Max, 1999, Einsten and Religion: Physics and Theology, PrincetonUniversity, Press, New Jersey
Jerome R. Ravertz, 2009, Filsafat Ilmu, Pusataka Pelajar, Yogjakarta
Jujun S. Suriasumantri, 2003, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Juhaya S. Praja, 2008., Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Prenada Media, Jakarta
Kuhn, Thomas S, 2000, The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Terjemahan Tjun Surjaman.
Rosda, Bandung Mundiri, 2010., Logika, Raja Grafindo, Jakarta


PENDEKATAN SAINS DAN TEHNOLOGI

PENDEKATAN SAINS DAN TEHNOLOGI
Aris Toening Winarni
I.    PENDAHULUAN
ISTILAH ‘sains’ bak kata mukjizat bagi orang modern. Yang tidak bersamanya berarti terbelakang, mundur dan jumud. Siapa yang tidak menguasainya maka ia akan dikuasi oleh yang menguasainya. Bagi suatu masyarakat, bangsa, negara dan lebih-lebih peradaban, akan termarjinalkan, katanya, apabila tidak berpihak kepada sains. Sepertinya semua orang sudah sepakat dengan kesimpulan itu. Hanya problemnya adalah  Apa tujuannya dan implikasinya ?
II.    PEMBAHASAN
Definisi Sains
Kata sains berasal dari bahasa latin ” scientia ” yang berarti pengetahuan.memandang dan mengamati keberadaan (eksistensi) alam ini sebagai suatu objek. Berdasarkan Webster New Collegiate Dictionary definisi dari sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian atau pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum – hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sains berarti(1) ilmu teratur (sistematis) yang dapat diuji kebenarannya; (2) ilmu yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata (fisika, kimia dan biologi). Sains pada prinsipnya merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari dan dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survey, studi kasus dan lain-lain).
Istilah common sense sering dianalogikan dengan good sense, karena seseorang dapat menerima dengan baik. Jadi, kaitannya dengan sains, sains beranjak dari common sense, dari peristiwa sehari-hari yang dialami manusia namun terus dilanjutkan dengan suatu pemikiran yang logis dan teruji.
Menurut filsafat ilmu bahwa ada beberapa aliran yang mendasari lahirnya sebuah ilmu pengetahuan atau sains :
1.    Humanisme, Humanisme berasal dari Barat dan mengalami perkembangan dalam lingkungan pemikiran filsafat Barat adalah sebuah gerakan filsafat dan literatur yang bermula dari Italia pada paruh kedua abad ke-14 kemudian menjalar ke negara-negara Eropa lainnya.  Gerakan ini menjadi salah satu faktor munculnya peradaban baru.  Humanisme adalah paham filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria segala sesuatu.  Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek. Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek, pengajaran masalah-masalah yang oleh orang-orang Yunani disebut paidea yang berarti kebudayaan, pendidikan seni, masalah kerakyatan,kerokhanian, perilaku
2.     Rasionalisme, Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.   
3.    Positifisme, Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme. 
4.    Empirisme, Aliran emprisme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.  Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Pada akhirnya yang bisa disimpulkan dari ke empat aliran diatas adalah : bahwa obyek dari sains ada  pada alam/materi dan non materi, Sains yang obyeknya materi lebih sering disebut ilmu pengetahuan alam/sains/tehnologi, sedangkan yang obyeknya non materi sering di sebut dengan ilmu pengetahuan social.
Menurut Didi (1997) pengetahuan/sains (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh dengan cara sadar, melakukan sesuatu tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilimiahnya (kesahihan). Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat ilmu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern yang ada sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh pemikiran manusia. Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran rasionalitas) (Herman 1999) dan John Locke (aliran empirikal) (Ash-Shadr 1995) yang telah meletakkan dasar rasionalitas dan empirisme pada proses berpikir.  Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan (Hidajat 1984a). Akumulasi penelaahan empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir secara empiris. Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah (Jujun 1990). Berdasarkan terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pemerhatian atau eksperimen, bukan teori (Kamus Dewan 1994: 336) atau sesuatu yang berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:262). Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta (sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan melalui penginderaan dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah diamati, melainkan penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada fakta disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin berubah dengan berubahnya pengamatan (Khan 1983). Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan taakulan, menurut pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras (Kamus Dewan 1994: 1107) atau sesuatu yang dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:820). Dengan demikian rasionalitas mencakup dua sumber pengetahuan, yaitu; pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat alami (fitrah) (Ash-Shadr 1995: 29). Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya didapatkan dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan hanya merupakan upaya memahami empirikal. Sementara, pemahaman rasional mengandung makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.  Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan (Hidajat 1984b).  Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir (Kamus Dewan 1994: 311 & 978) dan (Kamus Umum Bahasa Indonesia 1995: 239 & 729). Dari terminologi di atas dogma dan paradigma sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer. Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan sendirinya (Hidajat 1984a). Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia. Oleh karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan (Capra 1999). Dengan demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup serius (Kuhn 1970). 
Problem Sains Barat
Karena kemampuan dasar manusia adalah mengetahui, maka pertanyaannya adalah dari mana atau melalu apa saja manusia itu memperoleh pengetahuannya dan untuk apa pengetahuan itu? Pertanyaan ini juga menentukan hal yang mau di tuju dari istilah sains ini. Lagi-lagi ini perlu memposisikan diri terlebih dahulu kepada perspektif, sebab beda perspektifnya akan beda pula maksud dan tujuannya.
Bagi kalangan Barat modern, tentu yang namanya sains itu adalah sekedar pengetahuan manusia yang bisa dicerna oleh panca indera belaka. Selain yang seperti itu tidak sah disebutkan sains.
Melalui verifikasi yang disebut saintifik empirislah kemudian pengetahuan itu disebut ilmiah. Jika tidak, maka gugurlah dari keilmiahannya. Dengan batasan ini maka berarti sangat sedikit sekali pengetahuan manusia yang disebut sains. Padahal asalnya tidak demikian. Mengapa ia menjadi sempit begitu? Jawabannya adalah akibat lahirk dunia modern sekarang ini.
Zaman Modern ini tidak bisa dilepaskan dari proses panjang peradaban di Barat dari berbagai aspeknya. Jika Barat modern adalah hasil dari sekularisasi, berarti paradigma sains modern juga berparadigma sekuler.
Ciri khas sains Barat ini adalah empiris dan rasional. Persoalannya, ada banyak pengetahuan manusia yang metaempiris dan juga metarasional. Intinya banyak ilmu yang melintasi (trancend) batas-batas indera dan rasio. Apalagi konsep rasio di Barat, meminjam istilah al-Attas, telah terpisahkan dari intellectus. Maka konsekuensinya adalah paradigma Barat yang sekuler ini akan secara total mengiliminasi pengetahuan manusia yang sebetulnya lebih penting lagi dari pada sekedar sains Barat itu. Tak ada wahyu atau intuisi sebagai sumber ilmu dalam kamus mereka (Barat modern).
Lalu apa saja pengetahuan manusia selain sains Barat ini? Pertanyaan ini bisa ditelusuri dengan melihat saluran pengetahuan yang digunakan. Sebagaimana terdapat dalam Islam, pengetahuan manusia bisa melalui berbagai saluran. Dari yang terendah adalah panca indera, kemudian naik kepada yang lebih tinggi adalah akal, lalu intuisi dan yang terakhir adalah wahyu.

.

Jadi secara khirarkhis, panca indera adalah saluran terendah sampainya pengetahuan kepada manusia. Panca indera bertugas menangkap partikular-partikular pada dunia sekitar diri manusia. Inilah yang melahirkan pengetahuan praktis empiris. Hasil cerapan empiris ini yang kemudian menjadi ilmu sains modern saat ini, setelah dimantapkan dan dibakukan oleh analisa rasional praktikal dan ditetapkan sebagai yang saintifik oleh beberapa kalangan di Vienna Circle dahulu. Di sinilah terjadi pembatasan sains itu hanya kepada pengetahuan yang empiris saja.
Sengaja atau tidak, pembatasan sains kepada yang empiris ini sebetulnya merupakan semangat sekuler sebagai nilai utama yang terkandung di dalamnya. Sebab, ini merupakan proses penyingkiran aspek-aspek spiritual dalam sains.
Wajar kalau seorang Syed Hussein Nasr, misalnya, menganjurkan sakralisasi sains. Sebab, dengan pembatasan sains kepada yang empiris berarti telah menganggap sains itu lepas dari kesakralan atau nilai-nilai ilahi. Netral adalah kata ajaib bagi desakralisasi sains. Jika diteruskan pembatasan sains ini maka akan mengajak para penggiatnya menjadi ateis, karena berarti menjadi terbebas dari hegemoni agama.
Ini yang sepertinya juga memancing seorang al-Attas turun tangan menangani problem ini.
Al-Attas malah menganggap problem ini sebagai agenda filosofis Barat modern yang telah menyumbang malapetaka terbesar bagi umat saat ini. Tiga kerajaan besar telah porak poranda akibat pembatasan sains dan penerapannya ini. Mereka adalah kerajaan hewan, kerajaan tumbuh-tumbuhan dan kerajaan air. Manusia seakan sedang terseret kepada arus pengrusakan alam dan lingkungan akibat dari konsep sains yang sempit ini. Ini merupakan penyakit dari Barat yang disebarkan ke seluruh dunia. Inilah yang kemudian dikenal dengan pembaratan (westernization), suatu proses mengikuti tren Barat yang sedikit demi sedikit tengah menuju kepada kehancuran dunia.
Dengan terbitnya buku Newton (pada tahun 1686) yang berjudul “Philosophiae Naturalis Principia Mathematica” maka muncullah suatu babak baru dalam dunia sains modern. Teori gravitasi Newton telah mendorong ilmu pengetahuan berkembang pesat di dunia Barat. Perkembangan IPTEK tersebut ditandai oleh adanya rentetan temuan-temuan baru seperti temuan tentang listrik (Michael Faraday), gaya elektromagnetik (James Clerk Maxwell, 1870) dalil temuan Sinar-X (Henry Bacquerel). Dengan adanya penemuan tersebut maka banyak masalah praktis dalam kehidupan manusia yang dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Manusia mulai menikmati dan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam perkembangan teknologi pangan/pertanian, transportasi, genetika, industri dan komunikasi. Dampak dari kemajuan IPTEK tersebut adalah terjadinya akselerasi pertumbuhan penduduk dan peningkatan kemakmuran yang sangat pesat.  Puncak perkembangan IPTEK terjadi mulai awal abad 20 yang ditandai dengan munculnya Tcori RelatiFitas Einstein (1905). Teori ini menyatakan bahwa empat komponen mekanistis yakni zat, gerak, ruang dan waktu (yang diasumsikan bersifat absolut oleh Newton) merupakan sesuatu yang bersifat relatif. Zat pada prinsipnya hanya merupakan bentuk lain dari energi, dengan rumus yang termasyur E = mc2. Dengan kata lain, munculnya teori ini sekaligus mengakhiri era kejayaan Newtonian. Teori Relativitas tersebut ternyata dalam waktu relatif singkat mendorong terjadinya revolusi besar di bidang pemanfaatan energi atom, komunikasi persenjataan dan bahkan sampai ke penjelajahan ruang angkasa. Sekali lagi, seolah-olah manusia dilecut untuk melihat kenyataan bahwa rasio atau akal telah ‘memandu’ dunia ke era yang spektakuler. Rasio seolah-olah menjadi tumpuan dan harapan utama dalam pengembangan kehidupan manusia di dunia Barat maupun di kalangan masyarakat lain yang berkiblat ke dunia Barat.  Tahta’ kejayaan rasio Barat mulai tergetar saat born atom yang dianggap merupakan salah satu “produk gemilang” IPTEK, menelan korban ratusan ribu jiwa manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Manusia mulai tergelitik untuk berpikir “apakah rasio manusia boleh tetap dibiarkan terus menjelajah bebas tanpa kendali?”.  Sampai di penghujung abad 20, kemajuan IPTEK masih terus berjalan pesat, bahkan temuan temuan terkini di bidang telekomunikasi, komputerisasi dan keruang-angkasaan  telah membuat seolah-olah bumi menjadi sebuah titik kecil  di tengah belantara rasio”. Namun demikian kegelisahan semakin terasa mengingat   manusia semakin diperhadapkan pada kenyataan yang bersifat kontroversial dengan ‘apa yang diharapkan orang dari penjelajahan rasionya .Kemajuan pesat IPTEK Barat telah menunjukan bukti munculnya kehancuran.  
Apa yang perlu dilakukan?
Jika ada agenda sistematis dan terstruktur yang disebut westernisasi, maka perlu membuat upaya sebaliknya, yakni dewesternisasi. Dalam konteks sains ini kita perlu menyadarkan, tidak cukup sekedar membuktikan karena sudah jelas-jelas terbukti, bahwa sains ini tidak sekedar empiris, tapi melintasi dunia empiris (transempiric). Hal itu karena beberapa alas an berikut.
Pertama, secara bahasa. Seperti disebutkan di atas, sains ini berasal dari bahasa Latin scientia yang mempunyai kata dasar scire (to know). Ini dalam bahasa lainnya knowledge (Bahasa Inggris), ilm (Bahasa Arab), pengetahuan (Bahasa Indonesia). Jadi sebetulnya baik sains, ilmu, pengetahuan, setara dan sama-sama umum. Jika demikian adanya, maka perlu pendefinisian ulang sains itu sebagai pengetahuan yang tidak saja empiris, tapi transempiris.
Kedua, secara historis. Yang membuat istilah sains terbatas adalah proses panjang Barat menjadi sekuler. Artinya sains modern yang sempit itu adalah buah sekularisasi. Oleh karena itu, perlu desekularisasi sains. Ini bermakna, ada upaya mengembalikan sains kepada pengertian yang lebih menyeluruh dan utuh, bukan sempit dan partikular.
Ketiga, alasan epistemologis. Salah satu yang menjadi problem utama sains menjadi sempit itu secara epistemologis adalah penggunaan saluran ilmu tertentu dan menghilangkan saluran ilmu yang lain yang bagi hakekat diri manusia justru itu yang paling penting.
Sumber ilmu yang tertinggi dan yang paling penting itu adalah wayu. Wahyu adalah pemberi informasi tentang ilmu-ilmu yang tertinggi secara hirarkhis. Biar pun gemerlapnya sains saat ini, ilmu para Nabi yang diturunkan melalui wahyu itulah yang tertinggi. Sebab itulah para Nabi dan rasul diturunkan, yakni untuk mengingatkan akan urgennya ilmu ilahi diketahui oleh umat manusia.
Pengembalian makna sains sempit kepada yang luas dan yang sebenarnya inilah yang dimaksud di sini dengan transempirikal sains. Melintaskan sains dari sekedar empiris kepada yang rasional, intuitif bahkan profetik. Dengan demikian, maka akan muncul sederet nama-nama sains yang beragam dari saluran ilmu yang berbeda, seperti halnya yang pernah diklasifikasi oleh al-Farabi dalam kitab Ihsa’-nya, atau oleh al-Ghazali dalam Ihya’-nya.
III.        KESIMPULAN.
Sains merupakan suatu metode berpikir secara objektif. Tujuannya menggambarkan dan memberi makna pada dunia yang faktual. Sains adalah gambaran yang lengkap dan konsisten tentang berbagai fakta pengalaman dalam suatu hubungan yang mungkin paling sederhana (simple possible terms). Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena yang terjadi di alam .
Sekilas memang istilah sains ini sudah mapan, sehingga susah mengubah arus paradigma yang membelenggu masyarakat tentangnya. Namun apabila kita perhatikan betul-betul, ada yang janggal dengan sebutan penggunakan istilah ini. Kata sains kononnya disadur dari bahasa Latin Scire (to know) dan scientia (knowledge). Secara literal sains mempunyai makna pengetahuan. Aktivitas mengetahui ini adalah suatu yang sangat mendasar bagi manusia. Sebab dengan kemampuan mengetahui ini, manusia menjadi berbeda dari pada binatang dan makhluk-makhluk lainnya. Singkatnya, boleh dikatakan bahwa pengetahuan ini aspek khusus yang menjadikan manusia menjadi manusia.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sains itu adalah pengetahuan manusia, siapa saja, tentang sesuatu apapun di manapun dan kapanpun. Jadi kalau dirujuk kepada makna asalnya sains mempunyai makna yang sangat luas, umum dan universal. Dikatakan sangat luas karena ia tidak membatasi ilmu tertentu untuk dikatakan sains. Apa saja yang menjadi pengetahuan manusia, itulah sains.
Dikatakan umum, karena tidak saja ilmunya yang luas, tapi juga tidak khusus kepada kelompok tertentu, tidak khusus kepada suatu kelompok kajian yang hanya kelompoknya yang boleh mendefinisikannya, semisal Barat modern. Dikatakan universal karena ia mempunyai partikular-partikular, atau disiplin-disiplin yang menjadi bagian-bagiannya. Dan disiplin-disiplin itu tidak saja pengetahuan-pengetahuan empiris, tapi meliputi segala macam ilmu. Alhasil, kata sains berlaku kepada jenis pengetahuan apa saja.
Kelebihan dan kekurangan sains

Kelebihan sains yaitu:
1.    Sains telah memberikan banyak sumbangannya bagi umat manusia, misalnya dalam perkembangan sains dan teknologi kedokteran, sains dan teknologi komunikasi dan informasi.
2.      Dengan sains dan teknologi memungkinkan manusia dapat bergerak atau   bertindak dengan cermat dan tepat, efektif dan efisien karena sains dan teknologi merupakan hasil kerja pengalaman, observasi, eksperimen dan verifikasi.

Kelemahan sains yaitu:
1.       Sains bersifat objektif, menyampingkan penilaian yang bersifat subjektif.Sains menyampingkan tujuan hidup, sehingga dengan demikian sains/ teknologi tidak bisa dijadikan pembimbing bagi manusia dalam menjalani hidup ini.
2.      Sains   membutuhkan   pendamping dalam operasinya. Menurut Albert Einstein, "Sains   tanpa  agama   lumpuh,  dan  agama tanpa sains adalah buta (Science without religion is lame, religionwithout sains is blind).
















DAFTAR PUSTAKA

 Bagus Lorens, 1996. Kamus Filsafat, Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
 Bird, A; 2000. Philosophy of Science, Fundamental of Philosophy, Series Editor: John Shand U.C.L. Press, Taylor & Francis Group, London.
         Blashov, Y. and Rosenberg, A; 2002. Philosophy of Science Contemporary Readings, Routledge, Taylor & Francis Group, London and New York.
  Kattsoff, L; O; 1996. Pengantar Filsafat (Alih Bahasa, Sumargono), Penerbit Tiara Wacana Yogyakarta.
Ofm, Alex Lanur; 1983. Logika Selayang Pandang, Penerbit kanisius, yogyakarta.   
  Poedjawijatna, I;R; 1980. Pembimbing ke Arah Filsafat, Cetakan Kelima, Penerbit    P.T.Pembangunan, Jakarta.
  Siswomihardjo, Kunto, Wibisono, tt. Hubungan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Budaya,  (Bahan Kuliah untuk Program S-2 dan S-3 di UGM)
  ————–, 1985. Ilmu Filsafat dan Aktualitasnya dalam Pembangunan Nasional, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
 ————–, 1989. Materi Pokok Dasar-Dasar Filsafat, (Universitas Terbuka), Penerbit Kurnia, Jakarta.
Suriasumantri, Jujun, 1997.  Ilmu dalam Persfektif Sebuah Kumpulan Karangan Hakekat  Ilmu, Cetakan Ketigabelas, Penerbit Yayasan Obor, Indonesia.
  ————–, 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan kesebelas, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Van Peursen, 1980. Susunan Ilmu Penegetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu  (Terjemahan J. Drost), Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta.