CRITICAL REVIEW
Jurnal
|
Menciptakan
Partnerships Untuk Bangunan Kapasitas Di Dalam Negara Berkembang
|
Penyusun
|
F.
Desmond Mccarthy, William Bader, Boris Pleskovic
|
Tahun
|
2003
|
Penerbit
|
World Bank Policy
Research Working Paper 3099,
|
I. PENDAHULUAN.
Tulisan ini berisikan diskusi bermacam pengalaman-pengalaman
dalam sejumlah upaya mengembangkan negara-negara dalam membangun kapasitas
kelembagaan untuk pendidikan ekonomi dan riset yang di lakukan beberapa Negara
dengan Bank Dunia. Suatu pendekatan yang fleksibel dengan kesuksesan yang relatif rendah memberi beban kepada Bank Dunia
dan negara-negara penerima. Pendekatan partnerships mengkombinasikan
kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dari
pendonor pribadi dengan Bank Dunia sebagai fihak penyedia. Sebagian
besar kesuksesanya karena mengadopsi
masing-masing usaha setiap situasi negeri atau kebutuhan-kebutuhan regional. Ada ringkasan
singkat yang dimasukkan dari lima
lembaga; yaitu dari institusi akademis
dan empat riset
Ada pendapat umum yang menyatakan banyak negara
berkembang ketinggalan dari negara maju ,yang merupakan rekan pendamping pada penguasaan kombinasi di
bidang-bidang ekonomi, sosial, dan ramalan politis yang luas variasi .
Jika negara-negara ingin mencapai potensi yang penuh variasi, kelembagaan harus
secara terus menerus untuk ditingkatkan. diperjelas dengan catatan data yang
ada . Sementara di sejumlah negara kesuksesan merupakan bagian yang penting dari usaha-usaha bangunan kapasitas, memulai dengan niat-niat terbaik dan memberi
harapan awal, Banyak penjelasan ditawarkan tidak sesuai desain, ketiadaan
dukungan pendonor, dan dukungan lokal lemah menjadikan kebimbangan yang
panjang.
Membangun kapasitas pendidikan merupakan usaha yang
penting untuk membentuk masyarakat demokratis dan dinamis, Tantangan
meningkatkan kapasitas bidang pendidikan melibatkan pemahaman dan menerima sociocultural lingkungan dan
kemampuan yang kompleks untuk menyerap model-model internasional. Kebutuhan
untuk menyeimbangkan nilai-nilai sociocultural ini untuk menandingi
negara-negara maju yang berbeda pada
setiap situasi. Untuk banyak lembaga; institusi pendidikan negara-negara
meningkatkan pelan-pelan dari waktu ke waktu dan sering dengan berat yang dipengaruhi oleh isu-isu
budaya dan bahkan debat-debat peran yang berkelanjutan yang sesuai untuk
pendidikan. Di dalam negara-negara yang lain, khususnya negara-negara transisi,
suatu sistim pendidikan yang tradisional mempunyai kekurangan-kekurangan serius
dan membutuhkan modifikasi-modifikasi.
Yang
menjadi permasalahan adalah apakah Negara-negara tersebut akan menggantikan
model tradisional dengan versi asing ? Banyak usaha untuk memperkenalkan sistem
bidang pendidikan eksternal, meski itu tidak mungkin akan menemukan satu penyelesaian.
Di dalam situasi ini sebaiknya untuk
mengambil tindakan hati-hati dengan memperhatikan beberapa catatan situasi-situasi praktis yang ada. Tulisan ini
memusatkan perhatian pada pendidikan ekonomi pada Negara berkembang yang banyak
mengahdapai banyak permasalah, yang kemudian menerangkan peran Bank Dunia,
karena situasi yang berbeda beda dari Negara berkembang akhirnya ada penyajian
pengalaman-pengalaman dalam membangun kapasitas perekonomian, termasuk uraian
tentang usaha-usaha regional dengan membentuk perkongsian seperti African
Economis Recearch (AERC), Economic Research Forum (ERF) untuk Negara-negara
Arab, Iran, dan Turkey, dan
East-Central Europe dan negara-negara pembentuk Soviet Union, Pendidikan
Ekonomi dan Research Consortium (EERC) di Kyiv dan Moscow. Terdapat terminology
baru dalam riset yaitu, kerja sama/kolaborasi antar riset memusat dan
universitas, dengan maksud untuk memberi
mobilitas peneliti-peneliti ke negara-negara seberang.Model Kemitraan
Yang Fleksibel adalah Model kemitraan yang menyesuaikan diri dengan bermacam-macam
negeri melalui pemecahan masalah dan implementasi kolaboratif. Model ini
mempunyai empat langkah: 1. generasi dari suatu gagasan, 2. penilaian atas
kebutuhan-kebutuhan, 3.kelayakan studi, dan 4. implementasi. Bank memainkan
suatu peran yang fleksibel, sebagai katalitis di dalam partnerships dengan
mengambil bagian keuangan,. Dalam beberapa peristiwa partnerships mengambil
wujud dari suatu perkongsian/gabungan yang tersusun dengan suatu dewan direktur
dan satu badan penasihat; di pihak lain suatu asosiasi yang lepas
penderma-penderma boleh mencukupi. Kapasitas
bangunan diri sendiri juga telah mengambil beberapa wujud-wujud yang
berbeda: riset perkuatan, pelatihan ahli
ekonomi.
Model gerakan partnership yang di bangun oleh Bank dunia
pada pembiayaan pendidikan ekonomi dan riset yang di lakukan beberapa perguruan
tinggi, sedangkan hasil yang temukan merupakan masukan sebagai dasar pengembangan
kebijakan pemerintah.
Yang menjadi permasalahan adalah apakah model kemitraan
seperti yang di gambarkan dalam jurnal ini merupakan strategi pembangunan
penguatan kapasitas lembaga pemerintah terutama untuk Negara dunia ketiga ?
bagaimana pula dengan Indonesia ?
II. PEMBAHASAN
Jurnal
ini cukup jelas mengupas bagaimana program bank dunia untuk membantu Negara
dunia ke tiga dalam membangun kapasitas pemerintahan, melalui bantuan riset
penguatan dan pelatihan ahli ekonomi dengan membangun kemitraan antara Negara
dan beberapa perguruan tinggi serta lembaga riset.dengan model
perkongsian.
Pemerintah
dengan segala keterbatasannya tidak dapat melakukan sendiri dalam pengembangan program
pembangunan karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki pemerintah baik itu
dalam bidang kapital atau modal, sumber daya manusia(SDM) ataupun bidang
manajemennya. Dengan demikian pemerintah harus melakukan kerja sama atau
bermitra dengan aktor lain yaitu sektor privat
(swasta) maupun masyarakat.
Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS) atau Public
Private Partnership (PPP) dapat diterjemahkan sebagai perjanjian kontrak
antara swasta dan pemerintah, yang keduanya bergabung bersama dalam sebuah
kerjasama untuk menggunakan keahlian dan kemampuan masing-masing untuk
meningkatkan pelayanan kepada publik di mana kerjasama tersebut dibentuk untuk
menyediakan kualitas pelayanan terbaik dengan biaya yang optimal untuk publik (America’s National Council on Public Private
Partnership). Bentuk kemitraan ini bisa dilakukan dalam sector apa saja,
baik pada kemitraan lokal/regiaonal/nasional ataupun kemitraan internasional.
Teori Penelitian Lidenberg M De A
dan BilBramwell (2002) mengkaji tentang
kemitraan dibidang perencanaan dalam pembangunan pariwisata regional di
Brazil bagian utara, khususnya.
Dalam studi ini dieksplorasi pengaruh konteks sosialekonomi dan politik terhadap penataan kemitraan
dalam pengembangan pariwisata regional.
Kemitraan yang dikaji adalah antara organisasi pemerintah di berbagai skala spasial dan tingkatan fungsi. Studi tentang kemitraan dalam
pariwisata telah dilakukan oleh Nor’Ain
Othman (2003) tentang Aliansi Marketing dan Jejaring antara Organisasi
Pariwisata Nasional (NTO) dan
organisasi swasta non privat di Malaysia. Penelitian yang dipresentasikan dalam acara The Event Tourism & Destination
Management International Conference, 2003 di
China, mengkaji secara komprehensif
terhadap aliansi
inter-organisasional (inter-organizational
alliances), kemitraan (partnership) dan, hubungan jejaring (network relationships) antara Badan
Promosi Pariwisata Malaysia (Malaysia Tourism Promotion Board)
dengan organisasi-organisasi privat dan
non privat. Studi lain tentang
kemitraan pariwisata dilakukan oleh Supraptini (2003) tentang pengembangan pola kemitraan dalam
peningkatan sanitasi pengelolaan makanan di daerah objek wisata Bali. Penelitian Christof Pforr membahas
tentang dinamika kebijakan pariwisata dengan menggunakan pendekatan jaringan (network). Fokus studi ini untuk
menjelaskan pengaruh kompleksitas reputasi, kooperasi dan komunikasi dari
berbagai aktor dalam proses formulasi kebijakan (master plan) pembangunan pariwisata. Jejaring aktor yang
dimaksud terlibat dalam kegiatan ini adalah keterkaitan antar actor dari sektor
public-privat dan organisasi
non profit. Qiu Hanqin Zhang dkk, melakukan penelitian tentang implementasi
kebijakan pariwisata di Cina dari sudut pandang para pengusaha pariwisata. implementasi
kebijakan di Cina.
Kajian
tentang kebijakan kemitraan pemerintah dengan sektor privat dan masyarakat,
dipresentasikan di Universitas Brawijaya, melalui disertasi Dade Angga (2006).
Walaupun penelitian ini tidak di bidang pariwisata, namun perlu dikaji sebagai
referensi hasil penelitian. Dalam penelitian dengan metode kualitatif, Dede mengkaji
tentang kemitraan di sektor Kehutanan. Dengan menggunakan kombinasi teori
kemitraan, teori urban regime dan
teori governance, peneliti
menyimpulkan bahwa kemitraan yang dilaksanakan oleh pemerintah belum bisa
melakukan pengembangan (sektor kehutanan) secara maksimal. Penelitian lain
tentang partnership di Belanda
dilakukan oleh Plochg (2006) yang meyakinkan bahwa partnership adalah pendekatan yang tepat untuk membangun sinergi
meskipun dalam masyarakat yang sedang berkompetisi (”Collaborating while Competing). Hasil penelitiannya tentang partnership dalam pelayanan kesehatan
berbasis masyarakat, menunjukkan hasil bahwa partnership telah berhasil dan berkelanjutan dalam menyediakan
pelayanan kesehatan.
Di
dalam partnership kesehatan dikembangkan
pelayanan terpadu berbasis masyarakat. Penelitian partnership dalam cakupan sektor yang lebih luas dilakukan di India
oleh Government of India Planning
Commision (2004) di sektor Sosial. Laporan penelitian tersebut tentang
strategi partnership publik privat yang
diterapkan melalui projek pemerintah di sektor sosial. Sektor yang dimaksud
adalah pendidikan tinggi, budaya, kesehatan, kesejahteraan keluarga, pertanian
dan koperasi, lingkungan dan hutan, pembangunan pedesaan dan perkotaan, air
bersih dan keadilan sosial. Rulland (1993), mengembangkan penelitian tentang
hubungan pemerintah daerah (kota) dengan Asosiasi lokal. Penelitian dilakukan di
kota Chiang Mai dan Nakhon Sawan, Thailand. Hasil penelitian Rulland terhadap
beberapa jenis asosiasi local menyimpulkan bahwa di Thailand, asosiasi lokal
kurang memainkan fungsi dukungan terhadap otonomi daerah. Peran yang masih kuat
diperankan adalah dukungan keuangan terhadap kegiatan keagamaan atau
kegiatan-kegiatan kultural.
Studi
terhadap implementasi kebijakan telah berkembang di dalam Ilmu Administrasi
Negara. Ada beberapa ahli telah mengemukakan teori diantaranya
adalah Teori implementasi
Edwards (1992) memfokuskan kepada penjelasan tentang 4 (empat) faktor atau
variabel dalam implementasi kebijakan publik: communications (komunikasi), resources (sumber daya), dispositions
atau attitudes (sikap)
dan bureucratic stucture (struktur
birokrasi). Teori Grindle (1980) implementasi menyangkut semua faktor yaitu kebijakan,
legalitas dan faktor-faktor yang berpengaruh. Grindle mempertimbangkan 3 hal
sekaligus, yaitu: (a) Variabel Implementasi yang terdiri dari Tujuan kebijakan,
Program Aksi, Proyek dan Pendanaan, serta Desain Pengiriman Program; (b)
Variabel Hasil (outcome)
implementasi kebijakan yang terdiri dari dampak pada masyarakat dan perubahan
yang terjadi; dan (c) Variabel pengaruh yang terdiri dari isi kebijakan dan
konteks implementasi. Sedangkan Mazmanian (1983) memandang peran penting
analisis implementasi adalah mengidentifikasi variabel yang berusaha mencapai
tujuan legal. Variabel ini dapat dibagi dalam tiga kategori lebih luas: (1).
masalah yang mungkin muncul, (2). kemampuan struktur implementasi
perundang-undangan dalam proses implementasi, (3). efek langsung dari
bermacam-macam variabel politik dalam mencapai keseimbangan mendukung
tercapainya perundang-undangan. Teori Implementasi Van Meter dan Van Horn
(1975) meyakini bahwa implementasi kebijakan akan berhasil apabila perubahan
yang dikehendaki relative sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan,
terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi.
Hal ini berarti bahwa jalan yang menghubungkan antara kebijakan dan prestasi
kerja dipisahkan oleh sejumlah dimensi yaitu: (a) standart dan sasaran
kebijakan, (b) sumber daya, (c) komunikasi antar organisasi dan penguatan
aktivitas, (d) karakteristik agen pelaksana, (e) kondisi ekonomi, politik dan
sosial, dan (f) sikap para pelaksana.
Dasar
Pemikiran Kemitraan (partnership)
pada dasarnya berada dalam
argumen
tentang peran dan posisi negara dalam relasi (hubungan) negara (State) dan masyarakat (Society). Penjelasan terhadap
hubungan (relasi) ini adalah pembicaraan paling klasik dalam pengetahuan Ilmu
Sosial. Hal ini jelas terlihat karena konsep ini telah dibicarakan sejak tahun
1800-an (Hintze dalam Peirson, 1996: 64). Paling tidak ada 3 pemikiran yang
telah menjelaskan, yaitu:
a.
Perspektif Pasar (market system)
yang dapat ditelusuri dalam teori ekonomi klasik dari Adam Smith (1723-1790)
sampai New public Management dalam
karya David Osborne (1992). Dalam perspektif ini bermula dari pemisahan tegas
atau tidak ada hubungan sama sekali antara negara dengan masyarakat (baik dalam
bentuk privat maupun komunitas) sampai pandangan yang mengarahkan pelibatan negara dalam urusan
pasar yang dikemukakan Keyness (1883-1946, dalam Staniland, 1985: 16-18) dan
perubahan manajemen negara untuk
beroperasi seperti perusahaan privat.
b.
Perspektif Demokrasi yang dapat ditelusuri dalam teori Democratic Administration sejak Max Weber ( Ostrom, 1973) sampai
New Public Services dalam karya
Denhardt and Denhardt (2003).
Bell dan Watkins (1996) yang
menyebutkan bahwa Partnership atau kemitraan tersebut berada dalam
ruang pembatasan 4 tipologi hubungan interorganisasi, yaitu: a. Kompetisi,
b.Kooperasi, c. Koordinasi, d. Kolaborasi.
Menurut
Jamal dan Getz (1995 dalam William, 2005) yang diperlukan dalam partnership adalah kolaborasi bukan
kooperasi (kerjasama) dalam jangka pendek. Substansi kolaborasi dalam kemitraan
(partnership) ini tidak
sepenuhnya mudah dijelaskan batasannya. Kolaborasi sudah mencakup jejaring
hubungan antara pemerintah, privat (perusahaan) dan NGO yang mempunyai
perbedaan tipe kegiata kolaborasi dengan kegiatan interorganisasional lain yang
didorong oleh pasar dan mekanisme kontrol hirarki. (Lawrence et al, 2002;
Powell, 1990; Imperial, 2005). Mahmud (2001) dalam kajiannya tentang organisasi
kerjasama Shanghai, menunjukkan bahwa kemitraan (partnerhsip) merupakan suatu model kerjasama baru. Model ini
berbeda dengan aliansi strategik.
Konsep
partnership mempunyai pengertian
yang berbeda dia mendasarkan keseimbangan kekuasaan antar partisipan. Dengan
pendekatan ini Shanghai Cooperation
Organization lebih banyak membuat partnership
daripada melakukan perluasan organisasi. Salah satu model kemitraan (partnership) hubungan pemerintah,
swasta dan masyarakat dikemukakan oleh Savas (2000). Dalam bukunya Privatization, berdasarkan jenis dan
sifat barang, Savas membedakan penyediaan barang public dapat dilakukan melalui
privatisasi di mana pemerintah melibatkan pihak swasta dan masyarakat.
Dalam
model kemitraan 3 (tiga) pihak di atas, Syahrir menunjukkan bahwa kemitraan
tersebut terjalin karena masing-masing pihak akan mendapatkan keuntungan.
Demikian juga, secara keseluruhan relasi ketiga pihak akan memberikan manfaat
bagi pembangunan ekonomi daerah. Dalam kotak di tengah relasi ketiga pihak,
Syahrir menunjukkan adanya manfaat bagi pertumbuhan ekonomi lokal yang
dihasilkan dari kemitraan pemerintah, swasta dan komunitas (masyarakat). Dalam
hubungan kemitraan tersebut di atas, masing-masing pihak memiliki peran dan
manfaat sendiri-sendiri:
a.
Dalam hubungan kemitraan pemerintah dan swasta maka pemerintah berperan
menyusun kebijakan dan aturan main serta menyediakan pelayanan perizinan, dan
pengembangan kerjasama antara daerah dimana memungkinkan pelaku bisnis di
daerah masing-masing bisa saling mengembangkan investasi. Sedangkan dari pihak
swasta, kemitraan akan mendorong peran swasta untuk memberikan lingkungan
kondusif daerah sebagai daerah tujuan investasi, pelibatan departemen terkait
(industri, tenaga kerja, dan sebagainya), kebutuhan untuk transparansi dalam
hubungan perizinan dan nilai tambah yang dapat diperoleh dari kegiatan ekonomi
lokal.
b.
Dalam hubungan kemitraan pemerintah dan komunitas (masyarakat) maka pemerintah
berperan menyusun kebijakan yang memihak kepada kepentinga masyarakat, serta
melakukan transparansi dan akuntabilitas publik. Sedangkan bagi masyarakat
sendiri kemitraan menjadi peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan kesempatan
usaha, dan memperoleh ruang untuk melakukan negosiasi kepada pemerintah dalam
memperoleh keadilan dan kesetaraan.
Secara umum bentuk kontrak KPS / PPP terdiri dari konsesi dan joint venture. Konsesi seringkali
mengacu sebagai Bangun-Operasi-Transfer / BOT, meskipun mekanisme pembangunan aktual menca-kup Desain –
Bangun – Operasi - Pelihara / DBOM,
Bangun – Miliki - Operasi / BOO,
Bangun-Miliki-Operasi-Transfer / BOOT,
Desain-Bangun-Biayai-Operasi / DBFO,
Rehabilitasi – Operasi - Transfer / ROT,
Bangun-Sewa-Transfer / BLT (Miller,
2000), sementara pada joint venture,
aktor publik adalah regulator dan pemegang saham dalam kerjasama operasi perusahaan
di mana terdapat pembagian dalam keuntungan operasi perusahaan dan membantu
memastikan tingkat penerimaan politik yang lebih luas dalam upaya untuk
melindungi kepentingan dan kebutuhan publik.
Meskipun aktor swasta seringkali
memiliki tanggung jawab utama untuk melakukan manajemen operasional
sehari-hari, sektor publik terus berperan pada pengelolaan korporasi dan
tingkat manajemen harian (Bennett dkk., 2000; Bult-Spiering, 2003).
KPS/PPP dibangun dari 4 (empat) elemen
utama (Bult-Spiering & Dewulf, 2006), yaitu : (1) actors; (2) network;
(3) project; dan (4) relationship. Actors / pelaku utama KPS adalah sektor publik (Pemerintah) dan
sektor privat (swasta) di mana masing-masing mempunyai tujuan, kepentingan, dan
struktur organisasi yang berbeda. Tetapi di samping aktor publik dan privat,
terdapat aktor lain yang merupakan penentu dari keberhasilan proyek KPS/PPP, yakni penyandang dana (biasa
disebut ”lender”) dikarenakan
karakteristik proyek KPS/PPP yang
membutuhkan biaya modal/kapital yang sangat besar. Untuk menciptakan sebuah
hubungan / kerjasama yang sukses maka sangat penting untuk memahami tujuan dan
kepentingan dari masing-masing pelaku tersebut (Linder, 1999). Mardiah Thamrin
(2005) mengemukakan bahwa sedikitnya terdapat 7 (tujuh) faktor yang merupakan
kesatuan proses dari model KPS/PPP yang
merupakan pendukung keberhasilan program KPS. 7 (tujuh) faktor tersebut adalah net-working, cooperation/collaboration,
coordination, willingness, trust, capability dan a conductive envi-ronment. Sementara berdasarkan kajian yang
pernah dilakukan oleh Pusat Kajian Strategis Pelayanan Jasa Perhubungan
(PKSPJP) Dephub, 2006 Mendasarkan pada teori-teori tersebut di atas, ditentukan
variabel dan sub variabel yang digunakan sebagai instrumen pengukuran tingkat potensi
penerapan kebijakan KPS. Kebutuhan kemitraan dengan melibatkan negara, swasta
dan lembaga social kemasyarakatan baik di tingkat lokal dan internasional
menjadi kebutuhan yang urgen bagi pemerintah. Dalam posisi seperti ini,
kebijakan negara sangat bermakna, tidak saja sebagai fungsi regulatif dalam
negeri tetapi juga fungsi strategis dalam hubungan internasional. Dengan
demikian, maka kebijakan pembangunan di satu negara tidak dapat dianalisis
tanpa mengkaitkan dengan kepentingan kemitraan antar pemerintah, bisnis dan
masyarakat.
Kebijakan
kelembagaan kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan swasta, merupakan satu
sistem yang saling berinteraksi dengan batasan-batasan dan aturan-aturan yang
telah disepakati antar berbagai pihak yang bermitra. Dan kemitraan ini
dikembangkan dalam kerangka kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki oleh pihak
yang bermitra ini. Hubungan kemitraan tersebut digambarkan sebagai berikut:
(Perpres No7 tahun 2005), maupun pada Rencana
Kerja Pemerintah Tahun 2006 dan 2007 (Lihat Perpres No 39 tahun 2005 dan
Perpres No 19 tahun 2006). Namun demikian, kebijakan ini belum dirumuskan
secara lebih operasional mencakup batasan ruang lingkup kemitraan yang dapat
dilakukan pemerintah, mekanisme dan kedudukan masing-masing aktor yang terlibat,
serta pedoman implementasinya. Dalam rangka mengisi kekosongan inilah,
penelitian ini perumusan kebijakan
kemitraan di dalam pengembangan pariwisata di Indonesia
Sejak
dikembangkan kesepakatan The Bretton Woods di Amerika Serikat dengan didirikannya
IMF dan Bank Dunia serta ditandatanganinya kesepakatan GATT, dunia secara
global sesungguhnya telah memihak dan didorong oleh kepentingan perusahaan
transnasional (TNCs) yang merupakan actor terpenting dari globalisasi.
Kesepakatan tersebut secara teoritik telah berhasil memaksakan keinginan
perusahaan untuk mendesakkan terjadinya reformasi kebijakan nasional, terutama
di Negara-negara dunia ketiga dalam berbagai bidang yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip neoliberalisme, yang sesungguhnya bertentangan dengan
kepentingan ekspansi global dari investasi dan capital, ekspansi proses
produksi global serta proses ekspansi pemasaran global (yang terimplementasi
dalam konsep kemitraan).
Salah
satu cara strategis untuk melakukan reformasi adalah dengan mencantumkan ke
dalam salah satu persyaratan hutang (Bank Dunia dan IMF) yakni dalam
“structural adjustment program”; dengan demikian semua reformasi dimaksudkan
sebagai jalan pelicin sehingga memudahkan perusahaan trans nasional memberi
perlindungan.
Di
Indonesia, kebijakan kemitraan dalam pengembangan pariwisata pembahasan secara
mendalam isu tentang Public and
Private Sector Partnership di bidang pariwisata mengemuka dalam
Simposium pariwisata di Yogjakarta pada tahun 2001. Kegiatan ini merupakan
bagian dari pertemuan East Asian
Inter-Regiona Tourism Forum (EATOF) Tahunan. Secara umum dalam kebijakan
kemitraan di bidang pariwisata telah dirumuskan pemerintah dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Model kemitraan
yang terbangun seringsekali mendapatkan kritik dari teori ketergantungan
yang menyatakan bahwa dengan Globalisasi
menyebabkan yang kaya akan semakin mendominasi yang miskin, karena gobalisasi
diartikan sebagai keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia
di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer,
dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi
semakin sempit. Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar
kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan
memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas Negara.
Dalam banyak hal, globalisasi
mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah
ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi
yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Pada
fase seterusnya globalisasi sangat mengikat dalam berbagai kegiatan kenegaraan
secara Internasional, baik pada negara maju maupun yang berada dalam negara
dunia ketiga. Salah satunya bisa berbentuk partnerships. Dalam hal ini tanpa
negara-negara kaya, negara-negara miskin dianggap tidak mampu untuk
meningkatkan taraf kehidupannya. Karenanya negara-negara kaya secara aktif
terus melakukan dominasi terhadap negara miskin yang dilakukan di pelbagai
sektor, seperti ekonomi, media, politik, perbankan dan keuangan, pendidikan,
dan semua aspek pembangunan sumber daya termasuk manusia.
Antiglobalisasi adalah suatu istilah
yang umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan kelompok
yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur
perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan
sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup
sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta
dipersatukan dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global
saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh,
kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Namun, orang-orang yang dicap
"antiglobalisasi" sering menolak istilah itu, dan mereka lebih suka
menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari Semua Gerakan
atau sejumlah istilah lainnya.
III. KESIMPULAN
Dari
pembahasan bagian demi bagian sampai dengan penutup dapat disimpulkan bahwa jurnal
ini sudah bisa dikatakan berhasil memberikan pemahaman bagi para praktisi juga
akademisi untuk memahami konsep partnership terutama yang dibangun oleh Bank
Dunia namun kurang mampu bersifat objektif dalam menyampaikan prinsip-prinsip menegakkan perubahan social di masa
mendatang.
Esensi penulisan jurnal ini tidak
dikhususkan untuk bidang keilmuan secara umum akan tetapi diperuntukan bagi
para praktisi dalam menambah pemahaman
mengenai model partnership beserta keunggulan dan hasil-hasil yang diperoleh. Manfaat
artikel atau jurnal dan topik ini dalam mata kuliah Administrasi Behavior
Advends bagi mahasiswa adalah menambah kelengkapan materi, sehingga akan menambah
kemampuan mahasiswa untuk memahami bagaimana fungsi pemerintah dalam upaya
membangun kesejahteraan rakyat. Dengan bahasan dan tehnik penulisan yang runtut
mempermudah mahasiswa untuk memahami dan mendiskusikan fungsi dan perilaku
pemerintah dengan suatu pendekatan.
.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab S, 1991. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke
Implementasi
Kebijakasanaan Negara, Edisi kedua, Bumi Aksara,
Jakarta.
Adams John et al, 2006. “Public
Private Partnership In China: System, Constraints and Future Prospects”, International
Journal of Public Sector Management,Vol 19, No. 4, Sage Publication, pp
384-396.
Angga Dade, 2006. Kemitraan
Pemerintah, Masyarakat, dan Swasta Dalam Pembangunan (Suatu studi tentang kasus kemitraan sektor
kehutanan di Kabupaten Pasuruan), Disertasi (belum diterbitkan),
Unviersitas Brawijaya, Malang.
Archara P Khrisna, 2005.
“Private, Collective and Centralized Institutional Arragement For Managing
Forest “Commons” In Nepal, Mountain Research and Development Vol
25 No. 3 Agustus
Arnstein, Sherry R. 1969, "A
Ladder of Citizen Participation," JAIP, Vol. 35, No. 4, pp.
216-224.
Broadbent Jane and Laughlin
Richard, 2003, “Public Private Partnership: An Introduction”, Accounting,
Auditing & Acountability Journal, Vol 16 No. 3,pp. 332-341
Christof Pforr, 2006. Tourism
Policy In the Making An Australian Network Study Annals of Tourism Research
a Social Sciencies Journal.
Collins Randall, 1988. Theoritical
Sociology, Harcourt Brace Javanovich, San Diego.
Decorla Patrick-Sauza, 2005.
“Innovative Public-Private Partnership Models For Road Pricing/BRT
Initiatives”, Journal of Public Transportation, Vol. 8 No.1, pp 57-78.
Denhard V, Janet and Denhard B,
Robert, 2003. The New Public Services, M.E. Sharpe, New York.
Departemen Dalam Negeri bersama
JICA Jepang. 2004. Kajian Kerjasama Pengelolaan pariwisata Tanah Lot di
Kabupaten Tabanan, Bali, Laporan penelitian, tidak diterbitkan,
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar