Senin, 09 April 2012

Menciptakan Partnerships Untuk Bangunan Kapasitas Di Dalam Negara Berkembang


CRITICAL REVIEW

Jurnal         
Menciptakan Partnerships Untuk Bangunan Kapasitas Di Dalam Negara Berkembang
Penyusun
F. Desmond Mccarthy, William Bader, Boris Pleskovic
Tahun
2003
Penerbit
World Bank Policy Research Working Paper 3099,


I.  PENDAHULUAN.

Tulisan ini berisikan diskusi bermacam pengalaman-pengalaman dalam sejumlah upaya mengembangkan negara-negara dalam membangun kapasitas kelembagaan untuk pendidikan ekonomi dan riset yang di lakukan beberapa Negara dengan Bank Dunia. Suatu pendekatan yang fleksibel  dengan kesuksesan yang  relatif rendah memberi beban kepada Bank Dunia dan negara-negara penerima. Pendekatan partnerships mengkombinasikan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dari  pendonor pribadi dengan Bank Dunia sebagai fihak penyedia. Sebagian besar kesuksesanya  karena mengadopsi masing-masing usaha setiap situasi negeri atau kebutuhan-kebutuhan regional. Ada  ringkasan  singkat yang  dimasukkan dari lima lembaga; yaitu dari institusi  akademis dan empat riset
Ada pendapat umum yang menyatakan banyak negara berkembang ketinggalan dari negara maju ,yang merupakan  rekan pendamping pada penguasaan  kombinasi di  bidang-bidang ekonomi, sosial, dan ramalan politis yang luas variasi . Jika negara-negara ingin mencapai potensi yang penuh variasi, kelembagaan harus secara terus menerus untuk ditingkatkan. diperjelas dengan catatan data yang ada . Sementara di sejumlah negara  kesuksesan merupakan  bagian yang penting dari usaha-usaha bangunan kapasitas,  memulai dengan niat-niat terbaik dan memberi harapan awal, Banyak penjelasan ditawarkan tidak sesuai desain, ketiadaan dukungan pendonor, dan dukungan lokal lemah menjadikan kebimbangan yang panjang.
Membangun kapasitas pendidikan merupakan usaha yang penting untuk membentuk masyarakat demokratis dan dinamis, Tantangan meningkatkan kapasitas bidang pendidikan melibatkan pemahaman dan  menerima sociocultural lingkungan dan kemampuan yang kompleks untuk menyerap model-model internasional. Kebutuhan untuk menyeimbangkan nilai-nilai sociocultural ini untuk menandingi negara-negara maju  yang berbeda pada setiap situasi. Untuk banyak lembaga; institusi pendidikan negara-negara meningkatkan pelan-pelan dari waktu ke waktu dan sering  dengan berat yang dipengaruhi oleh isu-isu budaya dan bahkan debat-debat peran yang berkelanjutan yang sesuai untuk pendidikan. Di dalam negara-negara yang lain, khususnya negara-negara transisi, suatu sistim pendidikan yang tradisional mempunyai kekurangan-kekurangan serius dan  membutuhkan  modifikasi-modifikasi.
Yang menjadi permasalahan adalah apakah Negara-negara tersebut akan menggantikan model tradisional dengan versi asing ? Banyak usaha untuk memperkenalkan sistem bidang pendidikan eksternal, meski itu tidak mungkin akan menemukan satu penyelesaian. Di dalam situasi ini  sebaiknya untuk mengambil tindakan hati-hati dengan memperhatikan beberapa catatan  situasi-situasi praktis yang ada. Tulisan ini memusatkan perhatian pada pendidikan ekonomi pada Negara berkembang yang banyak mengahdapai banyak permasalah, yang kemudian menerangkan peran Bank Dunia, karena situasi yang berbeda beda dari Negara berkembang akhirnya ada penyajian pengalaman-pengalaman dalam membangun kapasitas perekonomian, termasuk uraian tentang usaha-usaha regional dengan membentuk perkongsian seperti African Economis Recearch (AERC), Economic Research Forum (ERF) untuk Negara-negara Arab, Iran, dan Turkey, dan   East-Central Europe dan negara-negara pembentuk Soviet Union, Pendidikan Ekonomi dan Research Consortium (EERC) di Kyiv dan Moscow. Terdapat terminology baru dalam riset yaitu, kerja sama/kolaborasi antar riset memusat dan universitas, dengan maksud untuk memberi  mobilitas peneliti-peneliti ke negara-negara seberang.Model Kemitraan Yang Fleksibel adalah Model kemitraan yang menyesuaikan diri dengan bermacam-macam negeri melalui pemecahan masalah dan implementasi kolaboratif. Model ini mempunyai empat langkah: 1. generasi dari suatu gagasan, 2. penilaian atas kebutuhan-kebutuhan, 3.kelayakan studi, dan 4. implementasi. Bank memainkan suatu peran yang fleksibel, sebagai katalitis di dalam partnerships dengan mengambil bagian keuangan,. Dalam beberapa peristiwa partnerships mengambil wujud dari suatu perkongsian/gabungan yang tersusun dengan suatu dewan direktur dan satu badan penasihat; di pihak lain suatu asosiasi yang lepas penderma-penderma boleh mencukupi. Kapasitas  bangunan diri sendiri juga telah mengambil beberapa wujud-wujud yang berbeda: riset perkuatan, pelatihan  ahli ekonomi.
Model gerakan partnership yang di bangun oleh Bank dunia pada pembiayaan pendidikan ekonomi dan riset yang di lakukan beberapa perguruan tinggi, sedangkan hasil yang temukan merupakan masukan sebagai dasar pengembangan kebijakan pemerintah.
Yang menjadi permasalahan adalah apakah model kemitraan seperti yang di gambarkan dalam jurnal ini merupakan strategi pembangunan penguatan kapasitas lembaga pemerintah terutama untuk Negara dunia ketiga ? bagaimana pula dengan Indonesia ?

II.  PEMBAHASAN
Jurnal ini cukup jelas mengupas bagaimana program bank dunia untuk membantu Negara dunia ke tiga dalam membangun kapasitas pemerintahan, melalui bantuan riset penguatan dan pelatihan ahli ekonomi dengan membangun kemitraan antara Negara dan beberapa perguruan tinggi serta lembaga riset.dengan model perkongsian.             
Pemerintah dengan segala keterbatasannya tidak dapat melakukan sendiri dalam pengembangan program pembangunan karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki pemerintah baik itu dalam bidang kapital atau modal, sumber daya manusia(SDM) ataupun bidang manajemennya. Dengan demikian pemerintah harus melakukan kerja sama atau bermitra dengan aktor lain yaitu sektor privat (swasta) maupun masyarakat.
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP) dapat diterjemahkan sebagai perjanjian kontrak antara swasta dan pemerintah, yang keduanya bergabung bersama dalam sebuah kerjasama untuk menggunakan keahlian dan kemampuan masing-masing untuk meningkatkan pelayanan kepada publik di mana kerjasama tersebut dibentuk untuk menyediakan kualitas pelayanan terbaik dengan biaya yang optimal untuk publik (America’s National Council on Public Private Partnership). Bentuk kemitraan ini bisa dilakukan dalam sector apa saja, baik pada kemitraan lokal/regiaonal/nasional ataupun kemitraan internasional.
Teori Penelitian Lidenberg M De A dan BilBramwell (2002) mengkaji tentang kemitraan dibidang perencanaan dalam pembangunan pariwisata regional di Brazil bagian utara, khususnya. Dalam studi ini dieksplorasi pengaruh konteks sosialekonomi dan politik terhadap penataan kemitraan dalam pengembangan pariwisata regional. Kemitraan yang dikaji adalah antara organisasi pemerintah di berbagai skala spasial dan tingkatan fungsi. Studi tentang kemitraan dalam pariwisata telah dilakukan oleh Nor’Ain Othman (2003) tentang Aliansi Marketing dan Jejaring antara Organisasi Pariwisata Nasional (NTO) dan organisasi swasta non privat di Malaysia. Penelitian yang dipresentasikan dalam acara The Event Tourism & Destination Management International Conference, 2003 di China, mengkaji secara komprehensif terhadap aliansi inter-organisasional (inter-organizational alliances), kemitraan (partnership) dan, hubungan jejaring (network relationships) antara Badan Promosi Pariwisata Malaysia (Malaysia Tourism Promotion Board) dengan organisasi-organisasi privat dan non privat. Studi lain tentang kemitraan pariwisata dilakukan oleh Supraptini (2003) tentang pengembangan pola kemitraan dalam peningkatan sanitasi pengelolaan makanan di daerah objek wisata Bali. Penelitian Christof Pforr membahas tentang dinamika kebijakan pariwisata dengan menggunakan pendekatan jaringan (network). Fokus studi ini untuk menjelaskan pengaruh kompleksitas reputasi, kooperasi dan komunikasi dari berbagai aktor dalam proses formulasi kebijakan (master plan) pembangunan pariwisata. Jejaring aktor yang dimaksud terlibat dalam kegiatan ini adalah keterkaitan antar actor dari sektor public-privat dan organisasi non profit. Qiu Hanqin Zhang dkk, melakukan penelitian tentang implementasi kebijakan pariwisata di Cina dari sudut pandang para pengusaha pariwisata. implementasi kebijakan di Cina.
Kajian tentang kebijakan kemitraan pemerintah dengan sektor privat dan masyarakat, dipresentasikan di Universitas Brawijaya, melalui disertasi Dade Angga (2006). Walaupun penelitian ini tidak di bidang pariwisata, namun perlu dikaji sebagai referensi hasil penelitian. Dalam penelitian dengan metode kualitatif, Dede mengkaji tentang kemitraan di sektor Kehutanan. Dengan menggunakan kombinasi teori kemitraan, teori urban regime dan teori governance, peneliti menyimpulkan bahwa kemitraan yang dilaksanakan oleh pemerintah belum bisa melakukan pengembangan (sektor kehutanan) secara maksimal. Penelitian lain tentang partnership di Belanda dilakukan oleh Plochg (2006) yang meyakinkan bahwa partnership adalah pendekatan yang tepat untuk membangun sinergi meskipun dalam masyarakat yang sedang berkompetisi (”Collaborating while Competing). Hasil penelitiannya tentang partnership dalam pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, menunjukkan hasil bahwa partnership telah berhasil dan berkelanjutan dalam menyediakan pelayanan kesehatan.
Di dalam partnership kesehatan dikembangkan pelayanan terpadu berbasis masyarakat. Penelitian partnership dalam cakupan sektor yang lebih luas dilakukan di India oleh Government of India Planning Commision (2004) di sektor Sosial. Laporan penelitian tersebut tentang strategi partnership publik privat yang diterapkan melalui projek pemerintah di sektor sosial. Sektor yang dimaksud adalah pendidikan tinggi, budaya, kesehatan, kesejahteraan keluarga, pertanian dan koperasi, lingkungan dan hutan, pembangunan pedesaan dan perkotaan, air bersih dan keadilan sosial. Rulland (1993), mengembangkan penelitian tentang hubungan pemerintah daerah (kota) dengan Asosiasi lokal. Penelitian dilakukan di kota Chiang Mai dan Nakhon Sawan, Thailand. Hasil penelitian Rulland terhadap beberapa jenis asosiasi local menyimpulkan bahwa di Thailand, asosiasi lokal kurang memainkan fungsi dukungan terhadap otonomi daerah. Peran yang masih kuat diperankan adalah dukungan keuangan terhadap kegiatan keagamaan atau kegiatan-kegiatan kultural.
Studi terhadap implementasi kebijakan telah berkembang di dalam Ilmu Administrasi Negara. Ada beberapa ahli telah mengemukakan teori diantaranya
adalah Teori implementasi Edwards (1992) memfokuskan kepada penjelasan tentang 4 (empat) faktor atau variabel dalam implementasi kebijakan publik: communications (komunikasi), resources (sumber daya), dispositions atau attitudes (sikap) dan bureucratic stucture (struktur birokrasi). Teori Grindle (1980) implementasi menyangkut semua faktor yaitu kebijakan, legalitas dan faktor-faktor yang berpengaruh. Grindle mempertimbangkan 3 hal sekaligus, yaitu: (a) Variabel Implementasi yang terdiri dari Tujuan kebijakan, Program Aksi, Proyek dan Pendanaan, serta Desain Pengiriman Program; (b) Variabel Hasil (outcome) implementasi kebijakan yang terdiri dari dampak pada masyarakat dan perubahan yang terjadi; dan (c) Variabel pengaruh yang terdiri dari isi kebijakan dan konteks implementasi. Sedangkan Mazmanian (1983) memandang peran penting analisis implementasi adalah mengidentifikasi variabel yang berusaha mencapai tujuan legal. Variabel ini dapat dibagi dalam tiga kategori lebih luas: (1). masalah yang mungkin muncul, (2). kemampuan struktur implementasi perundang-undangan dalam proses implementasi, (3). efek langsung dari bermacam-macam variabel politik dalam mencapai keseimbangan mendukung tercapainya perundang-undangan. Teori Implementasi Van Meter dan Van Horn (1975) meyakini bahwa implementasi kebijakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relative sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan, terutama dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi. Hal ini berarti bahwa jalan yang menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah dimensi yaitu: (a) standart dan sasaran kebijakan, (b) sumber daya, (c) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas, (d) karakteristik agen pelaksana, (e) kondisi ekonomi, politik dan sosial, dan (f) sikap para pelaksana.
            Dasar Pemikiran Kemitraan (partnership) pada dasarnya berada dalam
argumen tentang peran dan posisi negara dalam relasi (hubungan) negara (State) dan masyarakat (Society). Penjelasan terhadap hubungan (relasi) ini adalah pembicaraan paling klasik dalam pengetahuan Ilmu Sosial. Hal ini jelas terlihat karena konsep ini telah dibicarakan sejak tahun 1800-an (Hintze dalam Peirson, 1996: 64). Paling tidak ada 3 pemikiran yang telah menjelaskan, yaitu:
a. Perspektif Pasar (market system) yang dapat ditelusuri dalam teori ekonomi klasik dari Adam Smith (1723-1790) sampai New public Management dalam karya David Osborne (1992). Dalam perspektif ini bermula dari pemisahan tegas atau tidak ada hubungan sama sekali antara negara dengan masyarakat (baik dalam bentuk privat maupun komunitas) sampai pandangan yang    mengarahkan pelibatan negara dalam urusan pasar yang dikemukakan Keyness (1883-1946, dalam Staniland, 1985: 16-18) dan perubahan  manajemen negara untuk beroperasi seperti perusahaan privat.
b. Perspektif Demokrasi yang dapat ditelusuri dalam teori Democratic Administration sejak Max Weber ( Ostrom, 1973) sampai New Public Services dalam karya Denhardt and Denhardt (2003).
Bell dan Watkins (1996) yang menyebutkan bahwa Partnership   atau kemitraan tersebut berada dalam ruang pembatasan 4 tipologi hubungan interorganisasi, yaitu: a. Kompetisi, b.Kooperasi, c. Koordinasi, d. Kolaborasi.
Menurut Jamal dan Getz (1995 dalam William, 2005) yang diperlukan dalam partnership adalah kolaborasi bukan kooperasi (kerjasama) dalam jangka pendek. Substansi kolaborasi dalam kemitraan (partnership) ini tidak sepenuhnya mudah dijelaskan batasannya. Kolaborasi sudah mencakup jejaring hubungan antara pemerintah, privat (perusahaan) dan NGO yang mempunyai perbedaan tipe kegiata kolaborasi dengan kegiatan interorganisasional lain yang didorong oleh pasar dan mekanisme kontrol hirarki. (Lawrence et al, 2002; Powell, 1990; Imperial, 2005). Mahmud (2001) dalam kajiannya tentang organisasi kerjasama Shanghai, menunjukkan bahwa kemitraan (partnerhsip) merupakan suatu model kerjasama baru. Model ini berbeda dengan aliansi strategik.
Konsep partnership mempunyai pengertian yang berbeda dia mendasarkan keseimbangan kekuasaan antar partisipan. Dengan pendekatan ini Shanghai Cooperation Organization lebih banyak membuat partnership daripada melakukan perluasan organisasi. Salah satu model kemitraan (partnership) hubungan pemerintah, swasta dan masyarakat dikemukakan oleh Savas (2000). Dalam bukunya Privatization, berdasarkan jenis dan sifat barang, Savas membedakan penyediaan barang public dapat dilakukan melalui privatisasi di mana pemerintah melibatkan pihak swasta dan masyarakat.
Dalam model kemitraan 3 (tiga) pihak di atas, Syahrir menunjukkan bahwa kemitraan tersebut terjalin karena masing-masing pihak akan mendapatkan keuntungan. Demikian juga, secara keseluruhan relasi ketiga pihak akan memberikan manfaat bagi pembangunan ekonomi daerah. Dalam kotak di tengah relasi ketiga pihak, Syahrir menunjukkan adanya manfaat bagi pertumbuhan ekonomi lokal yang dihasilkan dari kemitraan pemerintah, swasta dan komunitas (masyarakat). Dalam hubungan kemitraan tersebut di atas, masing-masing pihak memiliki peran dan manfaat sendiri-sendiri:
a. Dalam hubungan kemitraan pemerintah dan swasta maka pemerintah berperan menyusun kebijakan dan aturan main serta menyediakan pelayanan perizinan, dan pengembangan kerjasama antara daerah dimana memungkinkan pelaku bisnis di daerah masing-masing bisa saling mengembangkan investasi. Sedangkan dari pihak swasta, kemitraan akan mendorong peran swasta untuk memberikan lingkungan kondusif daerah sebagai daerah tujuan investasi, pelibatan departemen terkait (industri, tenaga kerja, dan sebagainya), kebutuhan untuk transparansi dalam hubungan perizinan dan nilai tambah yang dapat diperoleh dari kegiatan ekonomi lokal.
b. Dalam hubungan kemitraan pemerintah dan komunitas (masyarakat) maka pemerintah berperan menyusun kebijakan yang memihak kepada kepentinga masyarakat, serta melakukan transparansi dan akuntabilitas publik. Sedangkan bagi masyarakat sendiri kemitraan menjadi peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan kesempatan usaha, dan memperoleh ruang untuk melakukan negosiasi kepada pemerintah dalam memperoleh keadilan dan kesetaraan.
Secara umum bentuk kontrak KPS / PPP terdiri dari konsesi dan joint venture. Konsesi seringkali mengacu sebagai Bangun-Operasi-Transfer / BOT, meskipun mekanisme pembangunan aktual menca-kup Desain – Bangun – Operasi - Pelihara / DBOM, Bangun – Miliki - Operasi / BOO, Bangun-Miliki-Operasi-Transfer / BOOT, Desain-Bangun-Biayai-Operasi / DBFO, Rehabilitasi – Operasi - Transfer / ROT, Bangun-Sewa-Transfer / BLT (Miller, 2000), sementara pada joint venture, aktor publik adalah regulator dan pemegang saham dalam kerjasama operasi perusahaan di mana terdapat pembagian dalam keuntungan operasi perusahaan dan membantu memastikan tingkat penerimaan politik yang lebih luas dalam upaya untuk melindungi kepentingan dan kebutuhan publik.
Meskipun aktor swasta seringkali memiliki tanggung jawab utama untuk melakukan manajemen operasional sehari-hari, sektor publik terus berperan pada pengelolaan korporasi dan tingkat manajemen harian (Bennett dkk., 2000; Bult-Spiering, 2003).
KPS/PPP dibangun dari 4 (empat) elemen utama (Bult-Spiering & Dewulf, 2006), yaitu : (1) actors; (2) network; (3) project; dan (4) relationship. Actors / pelaku utama KPS adalah sektor publik (Pemerintah) dan sektor privat (swasta) di mana masing-masing mempunyai tujuan, kepentingan, dan struktur organisasi yang berbeda. Tetapi di samping aktor publik dan privat, terdapat aktor lain yang merupakan penentu dari keberhasilan proyek KPS/PPP, yakni penyandang dana (biasa disebut ”lender”) dikarenakan karakteristik proyek KPS/PPP yang membutuhkan biaya modal/kapital yang sangat besar. Untuk menciptakan sebuah hubungan / kerjasama yang sukses maka sangat penting untuk memahami tujuan dan kepentingan dari masing-masing pelaku tersebut (Linder, 1999). Mardiah Thamrin (2005) mengemukakan bahwa sedikitnya terdapat 7 (tujuh) faktor yang merupakan kesatuan proses dari model KPS/PPP yang merupakan pendukung keberhasilan program KPS. 7 (tujuh) faktor tersebut adalah net-working, cooperation/collaboration, coordination, willingness, trust, capability dan a conductive envi-ronment. Sementara berdasarkan kajian yang pernah dilakukan oleh Pusat Kajian Strategis Pelayanan Jasa Perhubungan (PKSPJP) Dephub, 2006 Mendasarkan pada teori-teori tersebut di atas, ditentukan variabel dan sub variabel yang digunakan sebagai instrumen pengukuran tingkat potensi penerapan kebijakan KPS. Kebutuhan kemitraan dengan melibatkan negara, swasta dan lembaga social kemasyarakatan baik di tingkat lokal dan internasional menjadi kebutuhan yang urgen bagi pemerintah. Dalam posisi seperti ini, kebijakan negara sangat bermakna, tidak saja sebagai fungsi regulatif dalam negeri tetapi juga fungsi strategis dalam hubungan internasional. Dengan demikian, maka kebijakan pembangunan di satu negara tidak dapat dianalisis tanpa mengkaitkan dengan kepentingan kemitraan antar pemerintah, bisnis dan masyarakat.
Kebijakan kelembagaan kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan swasta, merupakan satu sistem yang saling berinteraksi dengan batasan-batasan dan aturan-aturan yang telah disepakati antar berbagai pihak yang bermitra. Dan kemitraan ini dikembangkan dalam kerangka kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki oleh pihak yang bermitra ini. Hubungan kemitraan tersebut digambarkan sebagai berikut:
 (Perpres No7 tahun 2005), maupun pada Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006 dan 2007 (Lihat Perpres No 39 tahun 2005 dan Perpres No 19 tahun 2006). Namun demikian, kebijakan ini belum dirumuskan secara lebih operasional mencakup batasan ruang lingkup kemitraan yang dapat dilakukan pemerintah, mekanisme dan kedudukan masing-masing aktor yang terlibat, serta pedoman implementasinya. Dalam rangka mengisi kekosongan inilah, penelitian ini  perumusan kebijakan kemitraan di dalam pengembangan pariwisata di Indonesia
Sejak dikembangkan kesepakatan The Bretton Woods di Amerika Serikat dengan didirikannya IMF dan Bank Dunia serta ditandatanganinya kesepakatan GATT, dunia secara global sesungguhnya telah memihak dan didorong oleh kepentingan perusahaan transnasional (TNCs) yang merupakan actor terpenting dari globalisasi. Kesepakatan tersebut secara teoritik telah berhasil memaksakan keinginan perusahaan untuk mendesakkan terjadinya reformasi kebijakan nasional, terutama di Negara-negara dunia ketiga dalam berbagai bidang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip neoliberalisme, yang sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan ekspansi global dari investasi dan capital, ekspansi proses produksi global serta proses ekspansi pemasaran global (yang terimplementasi dalam konsep kemitraan).
Salah satu cara strategis untuk melakukan reformasi adalah dengan mencantumkan ke dalam salah satu persyaratan hutang (Bank Dunia dan IMF) yakni dalam “structural adjustment program”; dengan demikian semua reformasi dimaksudkan sebagai jalan pelicin sehingga memudahkan perusahaan trans nasional memberi perlindungan.
Di Indonesia, kebijakan kemitraan dalam pengembangan pariwisata pembahasan secara mendalam isu tentang Public and Private Sector Partnership di bidang pariwisata mengemuka dalam Simposium pariwisata di Yogjakarta pada tahun 2001. Kegiatan ini merupakan bagian dari pertemuan East Asian Inter-Regiona Tourism Forum (EATOF) Tahunan. Secara umum dalam kebijakan kemitraan di bidang pariwisata telah dirumuskan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Model kemitraan yang terbangun seringsekali mendapatkan kritik dari teori ketergantungan yang menyatakan bahwa dengan Globalisasi menyebabkan yang kaya akan semakin mendominasi yang miskin, karena gobalisasi diartikan sebagai keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas Negara.
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Pada fase seterusnya globalisasi sangat mengikat dalam berbagai kegiatan kenegaraan secara Internasional, baik pada negara maju maupun yang berada dalam negara dunia ketiga. Salah satunya bisa berbentuk partnerships. Dalam hal ini tanpa negara-negara kaya, negara-negara miskin dianggap tidak mampu untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Karenanya negara-negara kaya secara aktif terus melakukan dominasi terhadap negara miskin yang dilakukan di pelbagai sektor, seperti ekonomi, media, politik, perbankan dan keuangan, pendidikan, dan semua aspek pembangunan sumber daya termasuk  manusia.
Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). "Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Namun, orang-orang yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak istilah itu, dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya.

III.  KESIMPULAN

   Dari pembahasan bagian demi bagian sampai dengan penutup dapat disimpulkan bahwa jurnal ini sudah bisa dikatakan berhasil memberikan pemahaman bagi para praktisi juga akademisi untuk memahami konsep partnership terutama yang dibangun oleh Bank Dunia namun kurang mampu bersifat objektif dalam  menyampaikan prinsip-prinsip  menegakkan perubahan social di masa mendatang.
 Esensi penulisan jurnal ini tidak dikhususkan untuk bidang keilmuan secara umum akan tetapi diperuntukan bagi para praktisi dalam  menambah pemahaman mengenai model partnership beserta keunggulan dan hasil-hasil yang diperoleh. Manfaat artikel atau jurnal dan topik ini dalam mata kuliah Administrasi Behavior Advends bagi mahasiswa adalah menambah kelengkapan materi, sehingga akan menambah kemampuan mahasiswa untuk memahami bagaimana fungsi pemerintah dalam upaya membangun kesejahteraan rakyat. Dengan bahasan dan tehnik penulisan yang runtut mempermudah mahasiswa untuk memahami dan mendiskusikan fungsi dan perilaku pemerintah dengan suatu pendekatan.

     



.
























DAFTAR PUSTAKA


Abdul Wahab S, 1991. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi
                         Kebijakasanaan Negara, Edisi kedua, Bumi Aksara, Jakarta.
Adams John et al, 2006. “Public Private Partnership In China: System, Constraints and Future Prospects”, International Journal of Public Sector Management,Vol 19, No. 4, Sage Publication, pp 384-396.
Angga Dade, 2006. Kemitraan Pemerintah, Masyarakat, dan Swasta Dalam Pembangunan    (Suatu studi tentang kasus kemitraan sektor kehutanan di Kabupaten Pasuruan), Disertasi (belum diterbitkan), Unviersitas Brawijaya, Malang.
Archara P Khrisna, 2005. “Private, Collective and Centralized Institutional Arragement For Managing Forest “Commons” In Nepal, Mountain Research and Development Vol 25 No. 3 Agustus
Arnstein, Sherry R. 1969, "A Ladder of Citizen Participation," JAIP, Vol. 35, No. 4, pp. 216-224.
Broadbent Jane and Laughlin Richard, 2003, “Public Private Partnership: An Introduction”, Accounting, Auditing & Acountability Journal, Vol 16 No. 3,pp. 332-341
Christof Pforr, 2006. Tourism Policy In the Making An Australian Network Study Annals of Tourism Research a Social Sciencies Journal.
Collins Randall, 1988. Theoritical Sociology, Harcourt Brace Javanovich, San  Diego.
Decorla Patrick-Sauza, 2005. “Innovative Public-Private Partnership Models For Road Pricing/BRT Initiatives”, Journal of Public Transportation, Vol. 8 No.1, pp 57-78.
Denhard V, Janet and Denhard B, Robert, 2003. The New Public Services, M.E. Sharpe,    New York.
Departemen Dalam Negeri bersama JICA Jepang. 2004. Kajian Kerjasama Pengelolaan pariwisata Tanah Lot di Kabupaten Tabanan, Bali, Laporan penelitian, tidak diterbitkan, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar