Senin, 09 April 2012

PEMBERDAYAAN SEBUAH HARAPAN

            PEMBERDAYAAN SEBUAH HARAPAN
Oleh: Dra. Aris Toening Winarni MSi




I.     Pendahuluan
Pemberdayaan merupakan sebuah gerakan perlawanan pembangunan alternatif terhadap hegemoni developmentalisme (teori modernisasi). Sejak tiga dekade silam, para ahli pembangunan berhaluan kritis telah melontarkan pertanyaan besar, mengapa terjadi kemiskinan di tengah-tengah gencarnya proyek-proyek pembangunan?
Pertanyaan kritis itu telah mengundang upaya serius memikirkan kembali doktrin-doktrin pembangunan. Merajalelanya kemiskinan di Dunia Ketiga disebabkan karena gagalnya model pembangunan ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh teori modernisasi atau doktrin developmentalisme. Kritik dan kecaman terhadap doktrin developmentalisme itu dikatakan bahwa model pertumbuhan hanya menjadikan orang kaya menjadi kaya dan orang miskin menjadi lebih miskin.
     Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2010  mencapai 13,31 % kurang lebih sejumlah 31 juta penduduk , tahun 2011 angka tersebut sudah turun menjadi 12,49%, data penurunan ini masih menjadi perdebatan, karena jumlah rakyat miskin yang katanya pada 2010 tinggal 31 jutaan orang, tak sesuai dengan besarnya jumlah rakyat miskin yang menerima raskin 70 juta jiwa dan menerima Jaminan kesehatan masayarakat miskin (Jamkesmas) mencapai 76,4 juta. (www.waspada.co.id). Diharapkan dari jumlah penerima Raskin dan jamkesmas akan terus menurun pada tahun-tahun mendatang. Tetapi siapa yang dapat menjamin bahwa grafik jumlah penduduk miskin akan terus turun? Setelah terjadinya krisis ekonomi 1997, yang ternyata tak segera bisa diatasi. Dampak dari krisis tersebut masih terasa dan terlihat sampai sekarang. 
     Apakah gejala seperti diatas telah mendapat perhatian yang memadai dari penentu kebijakan ?
     Dalle Daniel Sulekale  ( Jurnal Ekonomi Rakyat,2008), Akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal.
     Sementara dalam beberapa tahun terakhir  situasi tidak kondusif itu diperparah dengan peristiwa pemboman yang terjadi di beberapa tempat, bencana alam yang bertubi-tubi terakhir kejadian zunami dijepang serta revolusi Mesir. Semuanya menyebabkan hilangnya banyak lapangan kerja bagi berbagai lapisan masyarakat.
Sementara itu, keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang buruk, serta etos kerja yang rendah,  semuanya merupakan faktor internal.  Faktor-faktor internal dapat dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal juga. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait.
     Mengurai berbagai faktor penyebab kemiskinan tidak mudah dan tidak jelas harus mulai dari titik mana. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya, seharusnya bisa diatasi dengan penciptaan lapangan kerja. Namun penciptaan lapangan kerja bukanlah hal yang begitu saja dapat dilakukan, misalnya dengan meminjam dari sumber-sumber pembiayaan luar negeri. Buktinya, pinjaman luar negeri Indonesia pada saat ini sudah mencapai lebih dari US$140 milyar, namun tetap tidak mudah bagi banyak warga negara, khususnya yang tidak memiliki ketrampilan khusus, untuk mendapatkan lapangan kerja.
     Upaya meningkatkan penguasaan iptek masyarakat juga bukan perkara yang mudah. Masalah utamanya adalah biaya pendidikan. Tetapi bukan hanya itu, budaya menghargai simbol-simbol formal di masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat menghambat kemajuan penguasaan iptek. Entah sejak kapan, manusia Indonesia merasa lebih terpandang di lingkungan masyarakatnya apabila telah memiliki ijazah kesarjanaan daripada memiliki kemampuan nyata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Akhirnya dunia pendidikan pun tidak tergerak untuk mencetak manusia-manusia siap pakai. Sekolah-sekolah kejuruan kurang berkembang. Orang  merasa lebih bergengsi apabila tamat dari sekolah umum daripada sekolah kejuruan karena para siswa sekolah kejuruan dianggap kurang berkemampuan secara intelektual dibandingkan anak-anak dari sekolah umum. Alhasil, Indonesia tidak memiliki cukup tenaga teknis dan insinyur-insinyur lapisan menengah yang tumbuh dari bawah. Padahal sebagai salah satu negara sedang berkembang kebutuhan akan tenaga-tenaga teknis amat besar. Merekalah yang akan membentuk lapisan tenaga kerja menengah Indonesia dan menjadi infrastruktur lunak bagi pengembangan teknologi lebih canggih pada tahap berikutnya. Dengan demikian, kemiskinan yang dialami Indonesia di tengah-tengah kelimpahan sumber daya alamnya antara lain disebabkan oleh sistem pendidikan yang kurang sesuai dengan tahap perkembangan Indonesia.
     Dari gambaran kondisi tersebut diatas, tulisan ini ingin mengkaji “Bagaimana Kebijakan Pemerintah Untuk Pemberdayaan Masyarakat Miskin Di Era Otonomi Daerah”
II.  Konsepsi Pemberdayaan
     Pemberdayaaan mencakup pengertian membangun kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat (community development) dan membangun keberdayaan masyarakat, merupakan model pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-based development). Memberdayakan adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
     Pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai jembatan bagi konsep-konsep pembangunan makro dan mikro. Dalam kerangka pemikiran itu berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi itu harus digerakkan oleh masyarakat sendiri.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri.
Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut:
Pertama, upaya itu harus terarah (targetted). Ini yang secara populer disebut pemihakan. Ia ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
 Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni supaya bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.
Ketiga,  menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara individu. Karena itu seperti telah disinggung di muka, pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Di samping itu kemitraan usaha antara kelompok tersebut dengan kelompok yang lebih maju harus terus-menerus di bina dan dipelihara secara sating menguntungkan dan memajukan. Selanjutnya untuk kepentingan analisis, pemberdayaan masyarakat harus dapat dilihat baik dengan pendekatan komprehensif rasional maupun inkremental.
     Dalam pengertian pertama, dalam upaya ini diperlukan perencanaan berjangka, serta pengerahan sumber daya yang tersedia dan pengembangan potensi yang ada secara nasional, yang mencakup seluruh masyarakat. Dalam upaya ini perlu dilibatkan semua lapisan masyarakat, baik pemerintah maupun dunia usaha dan lembaga sosial dan kemasyarakatan, serta tokoh-tokoh dan individu-individu yang mempunyai kemampuan untuk membantu. Dengan demikian, programnya harus bersifat nasional, dengan curahan sumber daya yang cukup besar untuk menghasilkan dampak yang berarti.
     Dengan pendekatan yang kedua, perubahan yang diharapkan tidak selalu harus terjadi secara cepat dan bersamaan dalam derap yang sama. Kemajuan dapat dicapai secara bertahap, langkah demi langkah, mungkin kemajuan-kemajuan kecil, juga tidak selalu merata. Pada satu sektor dengan sektor lainnya dapat berbeda percepatannya, demikian pula antara satu wilayah dengan wilayah lain, atau suatu kondisi dengan kondisi lainnya. Dalam pendekatan ini, maka desentralisasi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan teramat penting. Tingkat pengambilan keputusan haruslah didekatkan sedekat mungkin kepada masyarakat.
     Salah satu pendekatan yang mulai banyak digunakan terutama oleh LSM adalah   advokasi. Pendekatan advokasi pertama kali diperkenalkan pada pertengahan tahun 1960-an di Amerika Serikat. Model pendekatan ini mencoba meminjam pola yang diterapkan dalam sistem hukum, di mana penasehat hukum berhubungan langsung dengan klien. Dengan demikian, pendekatan advokasi menekankan pada pendamping dan kelompok masyarakat dan membantu mereka untuk membuka akses kepada pelaku-pelaku pembangunan lainnya, membantu mereka mengorganisasikan diri, menggalang dan memobilisasi sumber daya yang dapat dikuasai agar dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining position) dari kelompok masyarakat tersebut. Pendekatan advokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang masing-masing mempunyai kepentingan dan sistem nilai sendiri-sendiri. Masyarakat pada dasarnya bersifat majemuk, di mana kekuasaan tidak terdistribusi secara merata dan akses keberbagai sumber daya tidak sama. Kemajemukan atau pluralisme inilah yang perlu dipahami. Menurut paham ini kegagalan pemerintah sering terjadi karena memaksakan pemecahan masalah yang seragam kepada masyarakat yang realitanya terdiri dari kelompok-kelompok yang beragam. Ketidakpedulian terhadap heterogenitas masyarakat, mengakibatkan individu-individu tidak memiliki kemauan politik dan hanya segelintir elit yang terlibat dalam proses pembangunan. Dalam jangka panjang diharapkan dengan pendekatan advokasi masyarakat mampu secara sadar terlibat dalam setiap tahapan dari proses pembangunan, baik dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pelaporan, dan evaluasi. Seringkali pendekatan advokasi diartikan pula sebagai salah satu bentuk “penyadaran” secara langsung kepada masyarakat tentang hak dan kewajibannya dalam proses pembangunan.
     Upaya-upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat  atau dengan kata lain meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia telah dilakukan sejak awal kemerdekaan. Misalnya, di bidang pendidikan, pemerintah melancarkan pemberantasan buta huruf tak terbatas di sekolah formal saja, namun juga secara non-formal. Di era Bung Karno, anak-anak usia sekolah bahkan “dikejar” agar mau masuk sekolah. Di era Pak Harto, dicanangkan wajib belajar sembilan tahun, dan hasilnya luar biasa.
     Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan memperkenalkan sistem santunan sosial. Di era Orde Baru, sejak 1970-an, dikenalkan pusat pelayanan kesehatan di tingkat kecamatan (Puskesmas) agar lebih mudah terjangkau oleh masyarakat desa. Belakangan dibentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di setiap desa. Pada awal 1990-an pembangunan pusat kesehatan masyarakat meningkat lebih tinggi daripada rumah sakit.  Penempatan bidan di desa yang mendidik kader-kader dari kalangan penduduk desa sendiri, dan mendampingi kader dalam kegiatan rutin posyandu, menunjukkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang keberlanjutan program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Program Keluarga Berencana juga merupakan program strategis untuk mengurangi tingkat kemiskinan keluarga.
Melalui program transmigrasi, penduduk miskin dari daerah padat diberi peluang yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Pembukaan dan pengembangan tanah pertanian baru diharapkan dapat meningkatkan kesempatan kerja para transmigran.
     Selanjutnya, melalui Small Enterprise Development Project (SEDP I-III) dari Bank Dunia dilaksanakanlah program kredit likuiditas Bank Indonesia berupa Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) pada tahun 1974 sampai awal 1990-an. Melalui paket 29 Januari 1990, pola kredit usaha kecil diwujudkan dalam KUK (Kredit Usaha Kecil) yang merupakan kredit komersial. KUK ditetapkan sebesar 20 persen dari portofolio kredit bank yang menyalurkannya. Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1232/1989, BUMN diwajibkan untuk menyisihkan 1-5 persen labanya bagi pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK). Fasilitas lainnya lagi adalah kredit usaha tani (KUT) yang mulai dilaksanakan tahun 1985 dan merupakan bantuan modal kerja bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan. Serta masih banyak program permodalan yang di khususkan untuk usaha kecil.
     Dalam rangka penanggulangan kemiskinan pula diluncurkan berbagai Inpres, seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Bangdes, dan yang agak belakangan namun cukup terkenal adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dapat dicatat juga program-program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat  (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), dan seterusnya. Hampir semua departemen mempunyai program penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun rupiah.
Pertanyaannya kini adalah seberapa besar efek pemberdayaan yang telah ditimbulkan dari berbagai program tersebut di atas pada lapisan masyarakat miskin yang menjadi sasarannya? Jawabannya adalah suatu pertanyaan, yaitu mengapa perekonomian Indonesia ambruk dan tidak tahan menghadapi krisis moneter pada tahun 1997?
     Sebagaimana dikemukan di atas, struktur perekonomian Indonesia mudah ambruk karena berat di atas rapuh di bawah. Hal itu terjadi karena kurang seimbangnya perhatian yang diberikan pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai kini pada pengembangan ekonomi kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha besar. Kelompok-kelompok usaha besar ini dalam perkembangannya kurang menjalin hubungan yang sifatnya saling memperkuat dengan kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah.
     HS Dillon, Dikatakan bahwa strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak dibarengi pemerataan merupakan kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Dalam menjalankan strategi tersebut, pinjaman luar negeri telah memainkan peran besar sebagai sumber pembiayaan. Padahal, sering terjadi adanya ketidak sesuaian antara paket pembangunan yang dianjurkan donor dengan kebutuhan riil masyarakat. Kebijakan fiskal dan moneter juga tidak pro kaum miskin, pengelolaan sumber daya alam kurang hati-hati dan tidak bertanggung jawab,  pelaksanaan program berorientasi keproyekan, misleading industrialisasi, liberalisasi perekonomian terlalu dini tanpa persiapan yang memadai untuk melindungi kemungkinan terpinggirkannya kelompok-kelompok miskin di dalam masyarakat. Selanjutnya berkembang budaya materialisme, praktek KKN.
     Jika dapat disimpulkan, maka penyebab kemiskinan di Indonesia bukanlah kurangnya sumber daya alam, melainkan karena faktor non-alamiah, yaitu kesalahan dalam kebijakan ekonomi. Khusus pada era Orde Baru, kelompok-kelompok usaha yang telah memiliki sistem manajemen modern dengan jaringan koneksi internasional yang sudah cukup baik dapat memanfaatkan situasi yang tercipta dengan lebih baik karena telah lebih siap secara teknis. Tugas yang diberikan kepada kelompok-kelompok usaha tersebut adalah memperbesar kue ekonomi yang kecil untuk kemudian dapat dilakukan pemerataan dalam pola trickle-down effect. Dalam perkembangannya, pertumbuhan untuk pemerataan tidak terjadi dengan mulus, bahkan kesenjangan sosial-ekonomi makin dirasakan melebar, dan akhirnya terjadi kerusuhan sosial yang memuncak pada tahun 1998.
III. HARAPAN DI ERA OTONOMI DAERAH
     Setelah terjadi pergantian rejim dari Orde Baru ke Orde Reformasi, kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk segera dapat mengatasi akibat-akibat krisis multi-dimensi tidak segera dapat bangkit lagi karena adanya tekanan-tekanan situasi dalam dan luar negeri. Namun, suasana pembangunan sudah sangat berubah. Partisipasi masyarakat dalam berbagai kehidupan, khususnya di bidang politik, meningkat tajam. Pemerintah mulai menyadari bahwa pendekatan yang top-down dan sentralistik dalam pengambilan keputusan tidak dapat menghasilkan percepatan pembangunan yang sekaligus memadukan antara pertumbuhan dan pemerataan. Jadi, jalan lebar harus dibuka untuk partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
     Pembahasan perihal penanggulangan kemiskinan di era otonomi daerah mengandung pelajaran tentang peluang-peluang penanggulangan kemiskinan, baik dari bentuk lama yang disusun di pusat pemerintahan, maupun pola baru hasil susunan pemerintah daerah, mungkin disertai dukungan pemerintah pusat atau swasta di daerah. Otonomi Daerah memungkinkan peningkatan penanggulangan kemiskinan karena menghadapi jarak spasial maupun temporal yang lebih dekat dengan penduduk miskin itu sendiri. Selain itu peluang tanggung jawab atas kegiatan tersebut berada di tangan pemerintah di aras kabupaten dan kota, serta pemerintah desa.
     Problem yang kemudian muncul ialah bagaimana upaya-upaya mengadaptasi perubahan dari struktur pemerintahan sentralistis menjadi struktur desentralistis di mana desa akhirnya memiliki kemandirian untuk menghidupi masyarakatnya sendiri. Problem tersebut berkaitan dengan telah mengakarnya pola-pola pendekatan sentralistis dalam pembangunan.
     Otonomi komunitas, pada tingkat desa atau yang lebih tinggi, memiliki pengertian yang lebih luas dari sekedar pengambilan keputusan.  Akan tetapi di antara ciri-ciri komunitas lainnya, fungsi pengambilan keputusan dianggap sebagai ciri paling elementer bagi sebuah otonomi yang berkaitan dengan pemberdayaan. Pengambilan keputusan merupakan manifestasi terpenting dari kekuasaan, sementara kekuasaan merupakan wacana inti dari keberdayaan.  Dengan kata lain, keberdayaan suatu komunitas dapat dicirikan oleh peranannya dalam pengambilan keputusan.
     Melalui perspektif tersebut otonomi berkaitan dengan upaya menggerakkan demokratisasi. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia pada dasarnya memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama. Di sini demokrasi lebih menekankan pada partisipasi dan artikulasi kepentingan rakyat dalam keputusan-keputusan publik. Pemerintah seharusnya memperhatikan kepentingan rakyat ke dalam sistem pemerintahannya.
     Konteks pengembangan demokrasi Indonesia terbangun dari dimulainya pelaksanaan aturan normatif tentang otonomi desa dalam UU 22/99, perubahannya dengan Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Dalam aturan tersebut otonomi ditegakkan di atas penetapan batas secara “tradisional”, penggunaan lembaga-lembaga “tradisional” dalam kehidupan sehari-hari, serta penetapan lembaga-lembaga perwakilan suara rakyat seperti BPD (Badan Perwakilan Desa). Terdapat dua asumsi yang digunakan di sini, yaitu struktur masyarakat desa tidaklah homogen melainkan minimal terdiri atas dua lapisan sosial: rakyat dan pemerintah.  
     Setidaknya ada lima kemungkinan yang bisa terjadi dari suatu proses transisi demokrasi melalui pemberian otonomi daerah. Pertama, terbentuknya sistem otoriter dalam bentuk baru. Kedua, terjadi revolusi sosial yang disebabkan oleh menajamnya konflik-konflik kepentingan di tengah masyarakat. Ketiga, liberalisasi terhadap sistem otoriter, yang dilakukan oleh penguasa pasca masa transisi, dengan tujuan untuk mendapat dukungan politis dan mengurangi tekanan-tekanan masyarakat. Keempat, merupakan kebalikan dari yang ketiga, yaitu penyempitan proses demokrasi dari sistem liberal kepada demokrasi limitatif. Dan kelima, terbentuknya sistem pemerintahan yang demokratis (Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead (ed.), 1993). Sangat penting untuk mengarahkan kebutuhan kita menuju terbentuknya pemerintahan demokratis.  Oleh sebab itu otonomi daerah menjadi penting. Proses ke arah otonomi masyarakat memerlukan waktu panjang. Namun, tanda-tanda bahwa otonomi telah mengarah pada tujuan pemberdayaan masyarakat .
     Dalam konteks birokrasi Pemerintah Daerah, proses berotonomi terfokus pada konsolidasi internal organisasi dan mencari sumber-sumber baru bagi penguatan pendapatan  daerah (PAD).  Struktur APBD Kabupaten/Kota pada umumnya didominasi oleh Belanja Rutin (Gaji Pegawai dan Non Pegawai) dan Dana Perimbangan lebih besar dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Daerah menafsirkan keadaan ini sebagai bentuk otonomi yang minimal.  Otonomi dianggap lebih nyata apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berhasil meningkatkan porsi Pendapatan  Asli Daerah (PAD) dalam APBD, sehingga berkesempatan membiayai program-program prakarsa sendiri. 
     Dalam jangka pendek, kegamangan berotonomi di daerah belum akan segera meningkatkan kemampuan pemerintah daerah untuk mengatasi kemiskinan di daerahnya masing-masing.
     Di antara faktor-faktor yang menghambat proses otonomi ialah terdapat aparat pemerintah kabupaten yang tidak yakin otonomi daerah akan berjalan –minimal sesuai dengan peraturan yang telah ada. Sulit bagi mereka untuk yakin bahwa pemerintah pusat bersedia menyerahkan urusan pemerintahan, dan terutama keuangan, kepada daerah.
     Selama ini peraturan daerah (Perda) tentang otonomi desa dibuat oleh aparat pemerintah kabupaten untuk mengisi kekosongan hukum sebagai akibat dicabutnya berbagai peraturan oleh Mendagri. Pengalaman dalam pembuatan peraturan daerah selama ini serta interpretasi mengenai hubungan daerah dan pusat secara hirarkis mengakibatkan pembuatan peraturan daerah tersebut tidak mengikutsertakan aspirasi warga desa sendiri. Padahal warga desalah yang menjadi subyek peraturan daerah tersebut. Peraturan daerah itu mengacu kepada peraturan Mendagri, tanpa menyertakan adaptasi sesuai konteks wilayah masing-masing.
     Acapkali diperoleh kenyataan bahwa kebijakan publik di suatu aras pemerintahan tidak sesuai dengan kebutuhan dari aras pemerintahan di bawahnya. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan komunikasi antar aras dari pemerintah pusat hingga desa. Komunikasi antar peranpun sering tidak berjalan sehingga beragam kegiatan dari berbagai pihak, baik instansi pemerintah, antarLSM, antarperguruan tinggi, pada satu aras yang sama seringkali tidak sinergis, bahkan tidak jarang saling mencederai. Hal itu menunjukkan belum adanya kesiapan atau tanda-tanda kemunculan demokrasi
     Selain bersumber dari sikap resistensi terhadap otonomi, faktor penghambat lainnya muncul secara faktual dari kemampuan pendanaan pembangunan. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, diperlukan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
     Dalam observasinya di lapangan, Pusat P3R-YAE menemukan bahwa kesangsian aparat pemerintah pusat mengenai otonomi daerah telah menyebabkan pemerintah kabupaten tidak menetapkan peraturan daerah mengenai pembagian keuangan – padahal item inilah yang menurut mereka paling penting diputuskan dalam rangka otonomi daerah. Aparat pemerintah kabupaten masih yakin bahwa pemerintah pusat akan menguasai sebagian besar pendapatan daerah. Dengan demikian diperkirakan aparat pemerintah kabupaten juga akan berupaya untuk menguasai sebagian besar pendapatan desa dalam bentuk pajak-pajak.
     Dalam kaitannya dengan otonomi desa, aparat pemerintah kabupaten memandang masyarakat desa belum mampu menjalankan pemerintahan sendiri. Oleh sebab itu diperlukan bantuan dari aparat pemerintah kabupaten. Bantuan tersebut dapat besar kalau pendapatan kabupaten besar pula. Hal ini diperoleh dari pembagian keuangan dari pusat, dan alokasi pajak-pajak usaha di desa-desa yang disetor kepada pemerintah kabupaten.
     Yang menggembirakan adalah faktor pendorong otonomi ke arah demokratisasi juga mulai terbentuk. Hubungan pihak-pihak pemerintah daerah, LSM dan perguruan tinggi setempat sudah dibuka peluangnya oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun 2006 berupa kebijakan nasional “Pedoman pengelolaan penguatan kapasitas pemerintah daerah”. Beberapa butir uraian Mendagri yang penting ialah upaya peningkatan kapasitas daerah dalam segala aspek, yaitu aspek kelembagaan, personil, keuangan, dan partisipasi masyarakat. Butir lainnya menunjukkan bahwa otonomi daerah dilaksanakan dalam derap kerja terkoordinasi (vertikal/horizontal) dan diupayakan dengan partisipasi penuh dari masyarakat melalui kegiatan LSM dan elemen masyarakat lainnya. Butir lainnya menjelaskan bahwa otonomi daerah dilaksanakan dengan mendorong pengembangan jaringan kerja (networking) dan optimalisasi dukungan kerjasama teknik luar negeri secara sistematis dan terencana.
     Dalam program prioritas peningkatan kapasitas daerah dan masyarakat, terdapat berkali-kali rujukan pada istilah di lapangan dan aplikasi lapangan. Hal ini menunjukkan pentingnya otonomi daerah terlaksana sampai di tingkat desa dan kelurahan serta melibatkan masyarakat, baik perorangan (laki-laki dan perempuan), keluarga, kelompok kecil, komunitas kecil, sampai komunitas lebih besar antar-desa maupun antar-kecamatan.
     Apabila semangat dan pola baru dalam pemerintahan sampai desa ini dipertahankan dan dilaksanakan, maka telah tercipta lingkungan yang kondusif bagi upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang self-sustained.
Ke depan, masih diperlukan upaya dialog yang mempertemukan aparat Pemda, masyarakat, swasta serta pihak lain yang berminat menanggulangi kemiskinan. Keberhasilan aparat Pemda dalam belajar menerapkan asas-asas pembangunan partisipatif akan membuka peluang yang besar dalam pemberdayaan rakyat. Indikator penting dalam melihat tanda-tanda keberlanjutan keberdayaan ialah terbukanya akses-akses sumberdaya di daerah yang mendukung pola nafkah penduduk miskin secara berkelanjutan.
     Upaya penanggulangan kemiskinan yang paling strategis dalam era otonomi daerah dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “berikan peluang kepada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”.  Ini berarti pihak luar harus mereposisi peran mereka, dari agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan. Input yang berasal dari luar yang masuk dalam proses pemberdayaan harus mengacu sepenuhnya pada kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh keluarga miskin itu sendiri bersama komunitasnya melalui proses dialog yang produktif agar sesuai dengan konteks setempat. Upaya-upaya menyeragamkan penanggulangan kemiskinan menurut model tertentu hanya akan menemukan kemungkinan yang lebih besar untuk gagal dalam mencapai sasarannya. Hal-hal yang perlu ditinggalkan oleh para pembuat kebijakan adalah melakukan kontrol yang mematikan insiatif maupun partisipasi penduduk miskin. Yang perlu segera dilaksanakan adalah membangun suatu paradigma pembangunan  yang memihak kepada penduduk miskin.
     Dalam membangun paradigma golongan miskin perlu diikutsertakan, misalnya melalui perwakilan mereka. Pemerintah daerah dan pemerintah desa sebaiknya hanya melakukan pekerjaan yang benar-benar mampu mereka kelola. Untuk mencapai kemampuan manajemen tersebut, Pemerintah Daerah dan pemerintah desa perlu bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang berminat dalam program penanggulangan kemiskinan.
     Dalam jangka panjang pemerintah bersama pihak-pihak lain yang berminat harus menanggulangi permasalahan tekanan donor menyangkut liberalisasi ekonomi agar tidak lebih jauh merugikan penduduk miskin. Otonomi daerah dan desa hendaknya diarahkan terutama untuk menanggulangi kemiskinan lokal. Dengan hilangnya kemiskinan, maka akan berkembang aspirasi demokrasi yang lebih besar dan lebih dewasa.
     Dalam proses ke arah itu dibutuhkan pendampingan yang akan membantu mendorong tumbuhnya partisipasi penduduk miskin dalam proses pembangunan di lingkungannya. Juga perlu menguatkan kemampuan kelembagaan penduduk miskin dengan pelatihan dalam satuan kelompok-kelompok penduduk miskin bentukan mereka. Di dalam kelompok, mereka menjadi sadar akan posisi dan apa penyebab kemiskinan mereka, dan membuka peluang menggalang pemecahan masalah kemiskinan bersama.
     Pemerintah daerah sebagai pembuat Undang-undang dan peraturan mampu mendorong iklim investasi di daerah. Para investor selalu menginginkan kepastian hukum. Salah satu kelemahan pemerintah daerah adalah pembuatan peraturan daerah yang mendorong investasi. Kapasitas di daerah sangat rendah untuk itu.Oleh karena itu pemerintah perlu kerjasama dengan pihak lain untuk  peningkatan kapasitas aparat pemerintah dan penataan kembali organisasi pemerintahan. Biasanya ada lembaga donor yang mau memberikan bantuan keuangan dalam rangka meningkatkan kapasitas lokal .

IV.         Penutup
     Pada berbagai program pemberdayaan yang bersifat parsial, sektoral dan charity yang pernah dilakukan, sering menghadapi berbagai kondisi yang kurang menguntungkan, misalnya salah sasaran, menumbuhkan ketergantungan masyarakat pada bantuan luar, terciptanya benih-benih fragmentasi sosial, dan melemahkan kapital sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, musyawarah, keswadayaan, dll). Lemahnya kapital sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
     Kondisi kapital sosial dan perilaku masyarakat yang melemah serta memudar tersebut salah satunya disebabkan oleh keputusan, kebijakan dan tindakan dari pengelola program pemberdayaan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang selama ini cenderung tidak berorientasi kepada masyarakat golongan ekonomi lemah, tidak adil, tidak transparan dan tidak tanggung gugat. Hal yang demikian akan menimbulkan kecurigaan, kebocoran, stereotype dan skeptisme di masyarakat, akibat ketidakadilan tersebut. Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil ini dapat terjadi pada situasi tatanan masyarakat yang belum madani, yang salah satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, yang tidak berorientasi pada keadilan, tidak dikelola dengan jujur serta terbuka dan tidak berpihak serta memperjuangkan kepentingan masyarakat lemah
     Kelembagaan masyarakat yang belum berdaya tersebut pada dasarnya disebabkan oleh karakteristik lembaga masyarakat yang ada di masyarakat cenderung tidak mengakar dan tidak representatif. Di samping itu, ditengarai pula bahwa berbagai lembaga masyarakat yang ada saat ini dalam beberapa hal lebih berorientasi pada kepentingan pihak luar masyarakat atau bahkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, sehingga mereka kurang memiliki komitmen dan kepedulian pada masyarakat di wilayahnya. Dalam kondisi ini akan semakin mendalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap berbagai lembaga masyarakat yang ada di wilayahnya.
     Pemerintah daerah sebagai pembuat Undang-undang dan peraturan mampu merumuskan kebijakan yang pro masyarakat miskin.







DAFTAR PUSTAKA
Ginandjar Kartasasmita, Pemberdayaan Masyarakat:Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat * DPD GOLKAR,1997
HS Dillon, “Paradigma Ekonomi yang Pro Kaum Miskin dan Pro Keadilan: Belajardari Kesalahan Masa Lalu,” Jurnal ekonomi rakyat 2008.
Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat - Bahan Kuliah PPS SP

Kuncoro, M. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan.Yogyakarta, Akademi Manajemen Perusahan YKPN. (2000).

Sangaji, M. Kemiskinan dan Kesenjangan Pendapatan di Indonesia.Perekonomian Indonesia, Deskripsi, Preskripsi & Kebijakan. A. E. Yustika. Malang, Bayumedia Publishing. (2005)

Tambunan, T. T. H. Perekonomian Indonesia, Teori dan Temuan Empiris. Jakarta, Ghalia Indonesia. (2001).

www.p2kp.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar