PEMBERDAYAAN SEBUAH HARAPAN
Oleh: Dra. Aris
Toening Winarni MSi
I.
Pendahuluan
Pemberdayaan merupakan sebuah gerakan perlawanan
pembangunan alternatif terhadap hegemoni developmentalisme (teori modernisasi).
Sejak tiga dekade silam, para ahli pembangunan berhaluan kritis telah
melontarkan pertanyaan besar, mengapa
terjadi kemiskinan di tengah-tengah gencarnya proyek-proyek pembangunan?
Pertanyaan kritis itu telah mengundang upaya serius
memikirkan kembali doktrin-doktrin pembangunan. Merajalelanya kemiskinan di
Dunia Ketiga disebabkan karena gagalnya model pembangunan ekonomi yang sangat
dipengaruhi oleh teori modernisasi atau doktrin developmentalisme. Kritik
dan kecaman terhadap doktrin developmentalisme itu dikatakan bahwa model
pertumbuhan hanya menjadikan orang kaya menjadi kaya dan orang miskin menjadi
lebih miskin.
Indonesia
adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya
melimpah, namun cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak krisis ekonomi
tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah
penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2010 mencapai 13,31 %
kurang lebih sejumlah 31 juta penduduk , tahun 2011 angka tersebut sudah turun menjadi 12,49%, data penurunan ini masih menjadi perdebatan, karena jumlah rakyat miskin yang katanya pada 2010 tinggal 31 jutaan orang, tak
sesuai dengan besarnya jumlah rakyat miskin yang menerima raskin 70
juta jiwa dan
menerima Jaminan kesehatan masayarakat miskin (Jamkesmas)
mencapai 76,4 juta. (www.waspada.co.id). Diharapkan dari jumlah penerima Raskin dan jamkesmas akan
terus menurun pada tahun-tahun mendatang. Tetapi
siapa yang dapat menjamin bahwa grafik jumlah penduduk miskin akan terus turun?
Setelah terjadinya krisis ekonomi 1997, yang
ternyata tak segera bisa diatasi. Dampak dari krisis tersebut masih terasa dan
terlihat sampai sekarang.
Apakah
gejala seperti diatas telah mendapat
perhatian yang memadai dari penentu kebijakan ?
Dalle Daniel Sulekale ( Jurnal Ekonomi Rakyat,2008), Akar
kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja
keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan
kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor
kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal.
Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang
menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi
kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal.
Sementara
dalam beberapa tahun terakhir situasi
tidak kondusif itu diperparah dengan peristiwa pemboman yang terjadi di
beberapa tempat, bencana alam yang bertubi-tubi terakhir kejadian zunami
dijepang serta revolusi Mesir. Semuanya menyebabkan hilangnya banyak lapangan
kerja bagi berbagai lapisan masyarakat.
Sementara
itu, keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang buruk, serta
etos kerja yang rendah, semuanya
merupakan faktor internal. Faktor-faktor
internal dapat dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal juga. Kesehatan
masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi
masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya
alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada
gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan
merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya
begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait.
Mengurai
berbagai faktor penyebab kemiskinan tidak mudah dan tidak jelas harus mulai
dari titik mana. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya, seharusnya bisa diatasi
dengan penciptaan lapangan kerja. Namun penciptaan lapangan kerja bukanlah hal
yang begitu saja dapat dilakukan, misalnya dengan meminjam dari sumber-sumber
pembiayaan luar negeri. Buktinya, pinjaman luar negeri Indonesia pada saat ini
sudah mencapai lebih dari US$140 milyar, namun tetap tidak mudah bagi banyak
warga negara, khususnya yang tidak memiliki ketrampilan khusus, untuk
mendapatkan lapangan kerja.
Upaya
meningkatkan penguasaan iptek masyarakat juga bukan perkara yang mudah. Masalah
utamanya adalah biaya pendidikan. Tetapi bukan hanya itu, budaya menghargai
simbol-simbol formal di masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat
menghambat kemajuan penguasaan iptek. Entah sejak kapan, manusia Indonesia
merasa lebih terpandang di lingkungan masyarakatnya apabila telah memiliki ijazah
kesarjanaan daripada memiliki kemampuan nyata untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan. Akhirnya dunia pendidikan pun tidak tergerak untuk mencetak
manusia-manusia siap pakai. Sekolah-sekolah kejuruan kurang berkembang. Orang merasa lebih bergengsi apabila tamat dari
sekolah umum daripada sekolah kejuruan karena para siswa sekolah kejuruan
dianggap kurang berkemampuan secara intelektual dibandingkan anak-anak dari
sekolah umum. Alhasil, Indonesia tidak memiliki cukup tenaga teknis dan
insinyur-insinyur lapisan menengah yang tumbuh dari bawah. Padahal sebagai
salah satu negara sedang berkembang kebutuhan akan tenaga-tenaga teknis amat
besar. Merekalah yang akan membentuk lapisan tenaga kerja menengah Indonesia
dan menjadi infrastruktur lunak bagi pengembangan teknologi lebih canggih pada
tahap berikutnya. Dengan demikian, kemiskinan yang dialami Indonesia di
tengah-tengah kelimpahan sumber daya alamnya antara lain disebabkan oleh sistem
pendidikan yang kurang sesuai dengan tahap perkembangan Indonesia.
Dari
gambaran kondisi tersebut diatas, tulisan ini ingin mengkaji “Bagaimana
Kebijakan Pemerintah Untuk Pemberdayaan Masyarakat Miskin Di Era Otonomi
Daerah”
II. Konsepsi
Pemberdayaan
Pemberdayaaan mencakup pengertian membangun kemampuan individu yang
bersenyawa dalam masyarakat (community development) dan membangun
keberdayaan masyarakat, merupakan model pembangunan yang bertumpu pada
masyarakat (community-based development). Memberdayakan adalah
upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita
yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap
kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai jembatan bagi konsep-konsep
pembangunan makro dan mikro. Dalam kerangka pemikiran itu berbagai input seperti
dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai
program pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan untuk memacu
percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan
modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat
menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi itu
harus digerakkan oleh masyarakat sendiri.
Pendekatan
utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek
dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya
pembangunannya sendiri.
Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan masyarakat harus
mengikuti pendekatan sebagai berikut:
Pertama, upaya itu harus terarah (targetted). Ini yang secara
populer disebut pemihakan. Ia ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan
program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
Kedua, program
ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat
yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai
beberapa tujuan, yakni supaya bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak
dan kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu sekaligus meningkatkan
keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang,
melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan
ekonominya.
Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat
miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup
bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara individu.
Karena itu seperti telah disinggung di muka, pendekatan kelompok adalah yang
paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Di
samping itu kemitraan usaha antara kelompok tersebut dengan kelompok yang lebih
maju harus terus-menerus di bina dan dipelihara secara sating menguntungkan dan
memajukan. Selanjutnya untuk kepentingan analisis, pemberdayaan masyarakat
harus dapat dilihat baik dengan pendekatan komprehensif rasional maupun
inkremental.
Dalam pengertian pertama, dalam upaya ini diperlukan perencanaan
berjangka, serta pengerahan sumber daya yang tersedia dan pengembangan potensi
yang ada secara nasional, yang mencakup seluruh masyarakat. Dalam upaya ini
perlu dilibatkan semua lapisan masyarakat, baik pemerintah maupun dunia usaha
dan lembaga sosial dan kemasyarakatan, serta tokoh-tokoh dan individu-individu
yang mempunyai kemampuan untuk membantu. Dengan demikian, programnya harus
bersifat nasional, dengan curahan sumber daya yang cukup besar untuk menghasilkan
dampak yang berarti.
Dengan pendekatan yang kedua, perubahan yang diharapkan tidak
selalu harus terjadi secara cepat dan bersamaan dalam derap yang sama. Kemajuan
dapat dicapai secara bertahap, langkah demi langkah, mungkin kemajuan-kemajuan
kecil, juga tidak selalu merata. Pada satu sektor dengan sektor lainnya dapat
berbeda percepatannya, demikian pula antara satu wilayah dengan wilayah lain, atau
suatu kondisi dengan kondisi lainnya. Dalam pendekatan ini, maka desentralisasi
dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan teramat penting. Tingkat
pengambilan keputusan haruslah didekatkan sedekat mungkin kepada masyarakat.
Salah satu pendekatan yang mulai banyak digunakan terutama oleh
LSM adalah advokasi. Pendekatan
advokasi pertama kali diperkenalkan pada pertengahan tahun 1960-an di Amerika
Serikat. Model pendekatan ini mencoba meminjam pola yang diterapkan dalam
sistem hukum, di mana penasehat hukum berhubungan langsung dengan klien. Dengan
demikian, pendekatan advokasi menekankan pada pendamping dan kelompok
masyarakat dan membantu mereka untuk membuka akses kepada pelaku-pelaku
pembangunan lainnya, membantu mereka mengorganisasikan diri, menggalang dan
memobilisasi sumber daya yang dapat dikuasai agar dapat meningkatkan posisi
tawar (bargaining position) dari kelompok masyarakat tersebut. Pendekatan
advokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya masyarakat terdiri
dari kelompok-kelompok yang masing-masing mempunyai kepentingan dan sistem
nilai sendiri-sendiri. Masyarakat pada dasarnya bersifat majemuk, di mana
kekuasaan tidak terdistribusi secara merata dan akses keberbagai sumber daya
tidak sama. Kemajemukan atau pluralisme inilah yang perlu dipahami.
Menurut paham ini kegagalan pemerintah sering terjadi karena memaksakan
pemecahan masalah yang seragam kepada masyarakat yang realitanya terdiri dari
kelompok-kelompok yang beragam. Ketidakpedulian terhadap heterogenitas masyarakat,
mengakibatkan individu-individu tidak memiliki kemauan politik dan hanya
segelintir elit yang terlibat dalam proses pembangunan. Dalam jangka panjang
diharapkan dengan pendekatan advokasi masyarakat mampu secara sadar terlibat
dalam setiap tahapan dari proses pembangunan, baik dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, pelaporan, dan evaluasi. Seringkali pendekatan advokasi diartikan
pula sebagai salah satu bentuk “penyadaran” secara langsung kepada masyarakat
tentang hak dan kewajibannya dalam proses pembangunan.
Upaya-upaya
untuk memampukan dan memandirikan masyarakat
atau dengan kata lain meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia telah
dilakukan sejak awal kemerdekaan. Misalnya, di bidang pendidikan, pemerintah melancarkan pemberantasan buta huruf tak
terbatas di sekolah formal saja, namun juga secara non-formal. Di era Bung
Karno, anak-anak usia sekolah bahkan “dikejar” agar mau masuk sekolah. Di era
Pak Harto, dicanangkan wajib belajar sembilan tahun, dan hasilnya luar biasa.
Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan berbagai upaya untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan memperkenalkan sistem
santunan sosial. Di era Orde Baru, sejak 1970-an, dikenalkan pusat pelayanan
kesehatan di tingkat kecamatan (Puskesmas) agar lebih mudah terjangkau oleh
masyarakat desa. Belakangan dibentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di setiap
desa. Pada awal 1990-an pembangunan pusat kesehatan masyarakat meningkat lebih
tinggi daripada rumah sakit. Penempatan
bidan di desa yang mendidik kader-kader dari kalangan penduduk desa sendiri,
dan mendampingi kader dalam kegiatan rutin posyandu, menunjukkan upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat. Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang
keberlanjutan program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Program
Keluarga Berencana juga merupakan program strategis untuk mengurangi tingkat
kemiskinan keluarga.
Melalui program transmigrasi, penduduk miskin dari daerah padat
diberi peluang yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya.
Pembukaan dan pengembangan tanah pertanian baru diharapkan dapat meningkatkan
kesempatan kerja para transmigran.
Selanjutnya, melalui Small Enterprise Development Project (SEDP
I-III) dari Bank Dunia dilaksanakanlah program kredit likuiditas
Bank Indonesia berupa Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP) pada tahun 1974 sampai awal 1990-an. Melalui paket 29 Januari
1990, pola kredit usaha kecil diwujudkan dalam KUK (Kredit Usaha Kecil) yang
merupakan kredit komersial. KUK ditetapkan sebesar 20 persen dari portofolio
kredit bank yang menyalurkannya. Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No.
1232/1989, BUMN diwajibkan untuk menyisihkan 1-5 persen labanya bagi pembinaan
usaha kecil dan koperasi (PUKK). Fasilitas lainnya lagi adalah kredit usaha
tani (KUT) yang mulai dilaksanakan tahun 1985 dan merupakan bantuan modal kerja
bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan. Serta masih banyak
program permodalan yang di khususkan untuk usaha kecil.
Dalam rangka penanggulangan kemiskinan pula diluncurkan
berbagai Inpres, seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar,
Bangdes, dan yang agak belakangan namun cukup terkenal adalah Inpres Desa
Tertinggal (IDT). Dapat dicatat juga program-program pemberdayaan lainnya
seperti Program Pembinaan dan
Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan
Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat
(Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana
Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), dan seterusnya. Hampir semua departemen mempunyai
program penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah
untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun
rupiah.
Pertanyaannya
kini adalah seberapa besar efek pemberdayaan yang telah ditimbulkan dari berbagai
program tersebut di atas pada lapisan masyarakat miskin yang menjadi
sasarannya? Jawabannya adalah suatu pertanyaan, yaitu mengapa perekonomian
Indonesia ambruk dan tidak tahan menghadapi krisis moneter pada tahun 1997?
Sebagaimana
dikemukan di atas, struktur perekonomian Indonesia mudah ambruk karena berat di
atas rapuh di bawah. Hal itu terjadi karena kurang seimbangnya perhatian yang
diberikan pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai kini pada
pengembangan ekonomi kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah
dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha besar. Kelompok-kelompok usaha
besar ini dalam perkembangannya kurang menjalin hubungan yang sifatnya saling
memperkuat dengan kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah.
HS Dillon, Dikatakan bahwa strategi
pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak dibarengi pemerataan merupakan
kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin negara-negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia. Dalam menjalankan strategi tersebut, pinjaman luar negeri
telah memainkan peran besar sebagai sumber pembiayaan. Padahal, sering terjadi
adanya ketidak sesuaian antara paket pembangunan yang dianjurkan donor dengan
kebutuhan riil masyarakat. Kebijakan fiskal dan moneter juga tidak pro kaum
miskin, pengelolaan sumber daya alam kurang hati-hati dan tidak bertanggung
jawab, pelaksanaan program berorientasi
keproyekan, misleading
industrialisasi, liberalisasi perekonomian terlalu dini tanpa persiapan yang
memadai untuk melindungi kemungkinan terpinggirkannya kelompok-kelompok miskin
di dalam masyarakat. Selanjutnya berkembang budaya materialisme, praktek KKN.
Jika dapat
disimpulkan, maka penyebab kemiskinan di Indonesia bukanlah kurangnya sumber
daya alam, melainkan karena faktor non-alamiah, yaitu kesalahan dalam kebijakan
ekonomi. Khusus pada era Orde Baru, kelompok-kelompok usaha yang telah memiliki
sistem manajemen modern dengan jaringan koneksi internasional yang sudah cukup
baik dapat memanfaatkan situasi yang tercipta dengan lebih baik karena telah lebih
siap secara teknis. Tugas yang diberikan kepada kelompok-kelompok usaha
tersebut adalah memperbesar kue ekonomi yang kecil untuk kemudian dapat
dilakukan pemerataan dalam pola trickle-down
effect. Dalam perkembangannya, pertumbuhan untuk pemerataan tidak terjadi
dengan mulus, bahkan kesenjangan sosial-ekonomi makin dirasakan melebar, dan
akhirnya terjadi kerusuhan sosial yang memuncak pada tahun 1998.
III. HARAPAN
DI ERA OTONOMI DAERAH
Setelah
terjadi pergantian rejim dari Orde Baru ke Orde Reformasi, kemampuan masyarakat
dan pemerintah untuk segera dapat mengatasi akibat-akibat krisis multi-dimensi
tidak segera dapat bangkit lagi karena adanya tekanan-tekanan situasi dalam dan
luar negeri. Namun, suasana pembangunan sudah sangat berubah. Partisipasi masyarakat
dalam berbagai kehidupan, khususnya di bidang politik, meningkat tajam.
Pemerintah mulai menyadari bahwa pendekatan yang top-down dan sentralistik dalam pengambilan keputusan tidak dapat
menghasilkan percepatan pembangunan yang sekaligus memadukan antara pertumbuhan
dan pemerataan. Jadi, jalan lebar harus dibuka untuk partisipasi masyarakat
dalam proses pembangunan.
Pembahasan
perihal penanggulangan kemiskinan di era otonomi daerah mengandung pelajaran
tentang peluang-peluang penanggulangan kemiskinan, baik dari bentuk lama yang
disusun di pusat pemerintahan, maupun pola baru hasil susunan pemerintah
daerah, mungkin disertai dukungan pemerintah pusat atau swasta di daerah.
Otonomi Daerah memungkinkan peningkatan penanggulangan kemiskinan karena menghadapi
jarak spasial maupun temporal yang lebih dekat dengan penduduk miskin itu
sendiri. Selain itu peluang tanggung jawab atas kegiatan tersebut berada di
tangan pemerintah di aras kabupaten dan kota, serta pemerintah desa.
Problem yang
kemudian muncul ialah bagaimana upaya-upaya mengadaptasi perubahan dari
struktur pemerintahan sentralistis menjadi struktur desentralistis di mana desa
akhirnya memiliki kemandirian untuk menghidupi masyarakatnya sendiri. Problem
tersebut berkaitan dengan telah mengakarnya pola-pola pendekatan sentralistis
dalam pembangunan.
Otonomi
komunitas, pada tingkat desa atau yang lebih tinggi, memiliki pengertian yang
lebih luas dari sekedar pengambilan keputusan.
Akan tetapi di antara ciri-ciri komunitas lainnya, fungsi pengambilan
keputusan dianggap sebagai ciri paling elementer bagi sebuah otonomi yang
berkaitan dengan pemberdayaan. Pengambilan keputusan merupakan manifestasi
terpenting dari kekuasaan, sementara kekuasaan merupakan wacana inti dari
keberdayaan. Dengan kata lain,
keberdayaan suatu komunitas dapat dicirikan oleh peranannya dalam pengambilan
keputusan.
Melalui perspektif tersebut
otonomi berkaitan dengan upaya menggerakkan demokratisasi. Demokrasi didasarkan
pada prinsip kedaulatan rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia
pada dasarnya memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama. Di sini
demokrasi lebih menekankan pada partisipasi dan artikulasi kepentingan rakyat
dalam keputusan-keputusan publik. Pemerintah seharusnya memperhatikan kepentingan
rakyat ke dalam sistem pemerintahannya.
Konteks pengembangan
demokrasi Indonesia terbangun dari dimulainya pelaksanaan aturan normatif
tentang otonomi desa dalam UU 22/99, perubahannya dengan Undang-undang 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah. Dalam aturan tersebut otonomi ditegakkan di
atas penetapan batas secara “tradisional”, penggunaan lembaga-lembaga
“tradisional” dalam kehidupan sehari-hari, serta penetapan lembaga-lembaga
perwakilan suara rakyat seperti BPD (Badan Perwakilan Desa). Terdapat dua
asumsi yang digunakan di sini, yaitu struktur masyarakat desa tidaklah homogen
melainkan minimal terdiri atas dua lapisan sosial: rakyat dan pemerintah.
Setidaknya
ada lima kemungkinan yang bisa terjadi dari suatu proses transisi demokrasi
melalui pemberian otonomi daerah. Pertama, terbentuknya sistem otoriter dalam bentuk baru. Kedua, terjadi
revolusi sosial yang disebabkan oleh menajamnya konflik-konflik kepentingan di
tengah masyarakat. Ketiga, liberalisasi terhadap sistem otoriter, yang
dilakukan oleh penguasa pasca masa transisi, dengan tujuan untuk mendapat
dukungan politis dan mengurangi tekanan-tekanan masyarakat. Keempat,
merupakan kebalikan dari yang ketiga, yaitu penyempitan proses demokrasi dari
sistem liberal kepada demokrasi limitatif. Dan kelima,
terbentuknya sistem pemerintahan yang demokratis (Guillermo O’Donnell, Philippe
C. Schmitter, dan Laurence Whitehead (ed.), 1993). Sangat penting untuk
mengarahkan kebutuhan kita menuju terbentuknya pemerintahan demokratis. Oleh sebab itu otonomi daerah menjadi
penting. Proses ke arah otonomi
masyarakat memerlukan waktu panjang. Namun, tanda-tanda bahwa
otonomi telah mengarah pada tujuan pemberdayaan masyarakat .
Dalam
konteks birokrasi Pemerintah Daerah, proses berotonomi terfokus pada
konsolidasi internal organisasi dan mencari sumber-sumber baru bagi penguatan
pendapatan daerah (PAD). Struktur APBD Kabupaten/Kota pada umumnya
didominasi oleh Belanja Rutin (Gaji Pegawai dan Non Pegawai) dan Dana
Perimbangan lebih besar dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Daerah
menafsirkan keadaan ini sebagai bentuk otonomi yang minimal. Otonomi dianggap lebih nyata apabila Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota berhasil meningkatkan porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam APBD, sehingga
berkesempatan membiayai program-program prakarsa sendiri.
Dalam jangka
pendek, kegamangan berotonomi di daerah belum akan segera meningkatkan
kemampuan pemerintah daerah untuk mengatasi kemiskinan di daerahnya
masing-masing.
Di antara
faktor-faktor yang menghambat proses otonomi ialah terdapat aparat pemerintah
kabupaten yang tidak yakin otonomi daerah akan berjalan –minimal sesuai dengan
peraturan yang telah ada. Sulit bagi mereka untuk yakin bahwa pemerintah pusat
bersedia menyerahkan urusan pemerintahan, dan terutama keuangan, kepada daerah.
Selama ini
peraturan daerah (Perda) tentang otonomi desa dibuat oleh aparat pemerintah
kabupaten untuk mengisi kekosongan hukum sebagai akibat dicabutnya berbagai
peraturan oleh Mendagri. Pengalaman dalam pembuatan peraturan daerah selama ini
serta interpretasi mengenai hubungan daerah dan pusat secara hirarkis
mengakibatkan pembuatan peraturan daerah tersebut tidak mengikutsertakan
aspirasi warga desa sendiri. Padahal warga desalah yang menjadi subyek
peraturan daerah tersebut. Peraturan daerah itu mengacu kepada peraturan
Mendagri, tanpa menyertakan adaptasi sesuai konteks wilayah masing-masing.
Acapkali
diperoleh kenyataan bahwa kebijakan publik di suatu aras pemerintahan tidak
sesuai dengan kebutuhan dari aras pemerintahan di bawahnya. Hal ini disebabkan
oleh ketiadaan komunikasi antar aras dari pemerintah pusat hingga desa.
Komunikasi antar peranpun sering tidak berjalan sehingga beragam kegiatan dari
berbagai pihak, baik instansi pemerintah, antarLSM, antarperguruan tinggi, pada
satu aras yang sama seringkali tidak sinergis, bahkan tidak jarang saling
mencederai. Hal itu menunjukkan belum adanya kesiapan atau tanda-tanda
kemunculan demokrasi
Selain bersumber dari sikap
resistensi terhadap otonomi, faktor penghambat lainnya muncul secara faktual dari kemampuan pendanaan pembangunan. Dalam konteks penanggulangan
kemiskinan, diperlukan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam observasinya di lapangan,
Pusat P3R-YAE menemukan bahwa kesangsian aparat pemerintah pusat mengenai otonomi daerah telah menyebabkan pemerintah kabupaten tidak
menetapkan peraturan daerah mengenai pembagian keuangan – padahal item inilah
yang menurut mereka paling penting diputuskan dalam rangka otonomi daerah.
Aparat pemerintah kabupaten masih yakin bahwa pemerintah pusat akan menguasai
sebagian besar pendapatan daerah. Dengan demikian diperkirakan aparat
pemerintah kabupaten juga akan berupaya untuk menguasai sebagian besar
pendapatan desa dalam bentuk pajak-pajak.
Dalam kaitannya dengan otonomi
desa, aparat pemerintah kabupaten memandang masyarakat desa belum mampu
menjalankan pemerintahan sendiri. Oleh sebab itu diperlukan bantuan dari aparat pemerintah kabupaten. Bantuan tersebut dapat besar
kalau pendapatan kabupaten besar pula. Hal ini
diperoleh dari pembagian keuangan dari pusat, dan alokasi pajak-pajak usaha di
desa-desa yang disetor kepada pemerintah kabupaten.
Yang
menggembirakan adalah faktor pendorong otonomi ke arah demokratisasi juga mulai
terbentuk. Hubungan pihak-pihak pemerintah daerah, LSM dan perguruan tinggi
setempat sudah dibuka peluangnya oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun 2006
berupa kebijakan nasional “Pedoman pengelolaan penguatan kapasitas pemerintah
daerah”. Beberapa butir uraian Mendagri
yang penting ialah upaya peningkatan kapasitas daerah dalam segala aspek, yaitu aspek kelembagaan, personil,
keuangan, dan partisipasi masyarakat. Butir lainnya menunjukkan bahwa otonomi
daerah dilaksanakan dalam derap kerja terkoordinasi (vertikal/horizontal) dan
diupayakan dengan partisipasi penuh dari masyarakat melalui kegiatan LSM dan
elemen masyarakat lainnya. Butir lainnya menjelaskan bahwa otonomi daerah
dilaksanakan dengan mendorong pengembangan jaringan kerja (networking)
dan optimalisasi dukungan kerjasama teknik luar negeri secara sistematis dan
terencana.
Dalam program prioritas
peningkatan kapasitas daerah dan masyarakat, terdapat berkali-kali rujukan pada
istilah di lapangan dan aplikasi lapangan. Hal ini menunjukkan
pentingnya otonomi daerah terlaksana sampai di tingkat desa dan kelurahan serta melibatkan masyarakat, baik perorangan (laki-laki dan perempuan),
keluarga, kelompok kecil, komunitas kecil, sampai komunitas lebih besar antar-desa
maupun antar-kecamatan.
Apabila semangat dan pola baru
dalam pemerintahan sampai desa ini dipertahankan dan dilaksanakan, maka telah tercipta lingkungan yang kondusif bagi
upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang self-sustained.
Ke depan, masih diperlukan
upaya dialog yang mempertemukan aparat Pemda, masyarakat, swasta serta pihak
lain yang berminat menanggulangi kemiskinan. Keberhasilan
aparat Pemda dalam belajar menerapkan asas-asas pembangunan partisipatif akan
membuka peluang yang besar dalam pemberdayaan rakyat. Indikator penting dalam
melihat tanda-tanda keberlanjutan keberdayaan ialah terbukanya akses-akses
sumberdaya di daerah yang mendukung pola
nafkah penduduk miskin secara berkelanjutan.
Upaya
penanggulangan kemiskinan yang paling strategis dalam era otonomi daerah dapat
dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “berikan peluang kepada keluarga miskin dan
komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”. Ini berarti pihak luar harus
mereposisi peran mereka, dari agen pemberdayaan menjadi fasilitator
pemberdayaan. Input yang berasal dari luar yang masuk dalam proses pemberdayaan
harus mengacu sepenuhnya pada kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh
keluarga miskin itu sendiri bersama komunitasnya melalui proses dialog yang
produktif agar sesuai dengan konteks setempat. Upaya-upaya menyeragamkan
penanggulangan kemiskinan menurut model tertentu hanya akan menemukan
kemungkinan yang lebih besar untuk gagal dalam mencapai sasarannya. Hal-hal
yang perlu ditinggalkan oleh para pembuat kebijakan adalah melakukan
kontrol yang mematikan insiatif maupun partisipasi penduduk miskin. Yang perlu
segera dilaksanakan adalah membangun suatu paradigma pembangunan yang
memihak kepada penduduk miskin.
Dalam
membangun paradigma golongan miskin perlu diikutsertakan, misalnya melalui
perwakilan mereka. Pemerintah daerah dan pemerintah desa sebaiknya hanya
melakukan pekerjaan yang benar-benar mampu mereka kelola. Untuk mencapai
kemampuan manajemen tersebut, Pemerintah Daerah dan pemerintah desa perlu bekerjasama
dengan pihak-pihak lain yang berminat dalam program penanggulangan kemiskinan.
Dalam jangka
panjang pemerintah bersama pihak-pihak lain yang berminat harus menanggulangi
permasalahan tekanan donor menyangkut liberalisasi ekonomi agar tidak lebih
jauh merugikan penduduk miskin. Otonomi daerah dan desa hendaknya diarahkan
terutama untuk menanggulangi kemiskinan lokal. Dengan hilangnya kemiskinan,
maka akan berkembang aspirasi demokrasi yang lebih besar dan lebih dewasa.
Dalam proses
ke arah itu dibutuhkan pendampingan yang akan membantu mendorong tumbuhnya
partisipasi penduduk miskin dalam proses pembangunan di lingkungannya. Juga
perlu menguatkan kemampuan kelembagaan penduduk miskin dengan pelatihan dalam
satuan kelompok-kelompok penduduk miskin bentukan mereka. Di dalam kelompok,
mereka menjadi sadar akan posisi dan apa penyebab kemiskinan mereka, dan
membuka peluang menggalang pemecahan masalah kemiskinan bersama.
Pemerintah
daerah sebagai pembuat Undang-undang dan peraturan mampu mendorong iklim
investasi di daerah. Para investor selalu menginginkan kepastian hukum. Salah
satu kelemahan pemerintah daerah adalah pembuatan peraturan daerah yang
mendorong investasi. Kapasitas di daerah sangat rendah untuk itu.Oleh karena
itu pemerintah perlu kerjasama dengan pihak lain untuk peningkatan kapasitas aparat pemerintah dan
penataan kembali organisasi pemerintahan. Biasanya ada lembaga donor yang mau
memberikan bantuan keuangan dalam rangka meningkatkan kapasitas lokal .
IV.
Penutup
Pada berbagai
program pemberdayaan yang bersifat parsial, sektoral dan charity yang pernah dilakukan, sering menghadapi berbagai kondisi yang kurang
menguntungkan, misalnya salah sasaran, menumbuhkan ketergantungan masyarakat
pada bantuan luar, terciptanya benih-benih fragmentasi sosial, dan melemahkan
kapital sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, musyawarah, keswadayaan,
dll). Lemahnya kapital sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran
perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan
dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
Kondisi kapital sosial dan
perilaku masyarakat yang melemah serta memudar tersebut salah satunya
disebabkan oleh keputusan, kebijakan dan tindakan dari pengelola program pemberdayaan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang selama ini cenderung
tidak berorientasi kepada masyarakat golongan ekonomi lemah, tidak adil, tidak
transparan dan tidak tanggung gugat. Hal yang demikian akan menimbulkan
kecurigaan, kebocoran, stereotype dan skeptisme di masyarakat, akibat
ketidakadilan tersebut. Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil ini
dapat terjadi pada situasi tatanan masyarakat yang belum madani, yang salah
satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya,
yang tidak berorientasi pada keadilan, tidak dikelola dengan jujur serta
terbuka dan tidak berpihak serta memperjuangkan kepentingan masyarakat lemah
Kelembagaan masyarakat yang belum berdaya tersebut pada dasarnya
disebabkan oleh karakteristik lembaga masyarakat yang ada di masyarakat
cenderung tidak mengakar dan tidak representatif. Di samping itu, ditengarai
pula bahwa berbagai lembaga masyarakat yang ada saat ini dalam beberapa hal
lebih berorientasi pada kepentingan pihak luar masyarakat atau bahkan untuk
kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, sehingga mereka kurang memiliki
komitmen dan kepedulian pada masyarakat di wilayahnya. Dalam kondisi ini akan
semakin mendalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap berbagai lembaga
masyarakat yang ada di wilayahnya.
Pemerintah
daerah sebagai pembuat Undang-undang dan peraturan mampu merumuskan kebijakan
yang pro masyarakat miskin.
DAFTAR
PUSTAKA
Ginandjar Kartasasmita, Pemberdayaan
Masyarakat:Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat * DPD
GOLKAR,1997
HS Dillon, “Paradigma
Ekonomi yang Pro Kaum Miskin dan Pro Keadilan: Belajardari Kesalahan Masa Lalu,”
Jurnal ekonomi rakyat 2008.
Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat - Bahan Kuliah PPS SP
Kuncoro,
M. Ekonomi
Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan.Yogyakarta, Akademi Manajemen Perusahan YKPN. (2000).
Sangaji, M. Kemiskinan dan Kesenjangan Pendapatan di
Indonesia.Perekonomian Indonesia, Deskripsi, Preskripsi & Kebijakan. A.
E. Yustika. Malang, Bayumedia Publishing. (2005)
Tambunan, T. T. H.
Perekonomian Indonesia, Teori dan Temuan
Empiris. Jakarta, Ghalia Indonesia. (2001).
www.p2kp.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar