PENDEKATAN
SAINS DAN TEHNOLOGI
Aris
Toening Winarni
I.
PENDAHULUAN
ISTILAH
‘sains’ bak kata mukjizat bagi orang modern. Yang tidak bersamanya berarti
terbelakang, mundur dan jumud. Siapa yang tidak menguasainya maka ia akan
dikuasi oleh yang menguasainya. Bagi suatu masyarakat, bangsa, negara dan
lebih-lebih peradaban, akan termarjinalkan, katanya, apabila tidak berpihak
kepada sains. Sepertinya semua orang sudah sepakat dengan kesimpulan itu. Hanya
problemnya adalah Apa tujuannya dan
implikasinya ?
II.
PEMBAHASAN
Definisi
Sains
Kata
sains berasal dari bahasa latin ” scientia ” yang berarti pengetahuan.memandang
dan mengamati keberadaan (eksistensi) alam ini sebagai suatu objek. Berdasarkan
Webster New Collegiate Dictionary definisi dari sains adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian atau pengetahuan yang melingkupi
suatu kebenaran umum dari hukum – hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan
dan dibuktikan melalui metode ilmiah.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, sains berarti(1) ilmu teratur (sistematis) yang
dapat diuji kebenarannya; (2) ilmu yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan
semata (fisika, kimia dan biologi). Sains pada prinsipnya merupakan suatu usaha
untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan
yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari dan
dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan
berbagai metode yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmiah (observasi,
eksperimen, survey, studi kasus dan lain-lain).
Istilah
common sense sering dianalogikan dengan good sense, karena seseorang dapat
menerima dengan baik. Jadi, kaitannya dengan sains, sains beranjak dari common
sense, dari peristiwa sehari-hari yang dialami manusia namun terus dilanjutkan
dengan suatu pemikiran yang logis dan teruji.
Menurut
filsafat ilmu bahwa ada beberapa aliran yang mendasari lahirnya sebuah ilmu
pengetahuan atau sains :
1.
Humanisme, Humanisme berasal dari Barat dan mengalami
perkembangan dalam lingkungan pemikiran filsafat Barat adalah sebuah gerakan
filsafat dan literatur yang bermula dari Italia pada paruh kedua abad ke-14
kemudian menjalar ke negara-negara Eropa lainnya. Gerakan ini menjadi
salah satu faktor munculnya peradaban baru. Humanisme adalah paham filsafat
yang menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai
kriteria segala sesuatu. Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat
manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek.
Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat manusia beserta batas-batas dan
kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek, pengajaran masalah-masalah yang
oleh orang-orang Yunani disebut paidea yang berarti kebudayaan, pendidikan seni,
masalah kerakyatan,kerokhanian, perilaku
2. Rasionalisme, Descartes
adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua
pengetahuan ada dalam pikiran.
3. Positifisme, Dasar-dasar
filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte
(1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi
dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif
merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan
ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh
dalam metafisika ditolak, dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu
kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan
Materialisme.
4.
Empirisme, Aliran emprisme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776),
yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu
dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah
(yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi
merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Pada
akhirnya yang bisa disimpulkan dari ke empat aliran diatas adalah : bahwa obyek
dari sains ada pada alam/materi dan non
materi, Sains yang obyeknya materi lebih sering disebut ilmu pengetahuan
alam/sains/tehnologi, sedangkan yang obyeknya non materi sering di sebut dengan
ilmu pengetahuan social.
Menurut Didi (1997) pengetahuan/sains (dalam hal ini
pengetahuan ilmiah) harus diperoleh dengan cara sadar, melakukan sesuatu
tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan cara yang
lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian
diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilimiahnya (kesahihan).
Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada sistematika
pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek metodologi,
bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat ilmu
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan
pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern
yang ada sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang
telah dihasilkan oleh pemikiran manusia. Filsafat ilmu dalam perkembangannya
dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh
pemikir dalam filsafat ilmu yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern
yaitu Rene Descartes (aliran rasionalitas) (Herman 1999) dan John Locke (aliran
empirikal) (Ash-Shadr 1995) yang telah meletakkan dasar rasionalitas dan
empirisme pada proses berpikir. Kemampuan rasional dalam proses berpikir
dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses
“create” ilmu pengetahuan (Hidajat 1984a). Akumulasi penelaahan empiris dengan
menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat
menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan
tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak
pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga
dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan
ilmiah dengan pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional
sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan
berpikir rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang
dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang
merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir
secara rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka
kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir
secara empiris. Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara
berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya
merupakan implementasi dari metode ilmiah (Jujun 1990). Berdasarkan
terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pemerhatian
atau eksperimen, bukan teori (Kamus Dewan 1994: 336) atau sesuatu yang
berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan,
pengamatan yang telah dilakukan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:262).
Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta
(sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan
melalui penginderaan dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah
diamati, melainkan penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan
pada fakta disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga
mengakibatkan semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin
berubah dengan berubahnya pengamatan (Khan 1983). Rasional mempunyai pengertian
sesuatu yang berdasarkan taakulan, menurut pertimbangan atau pikiran yang
wajar, waras (Kamus Dewan 1994: 1107) atau sesuatu yang dihasilkan menurut
pikiran dan timbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan
akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut) (Kamus Besar Bahasa Indonesia:
1995:820). Dengan demikian rasionalitas mencakup dua sumber pengetahuan, yaitu;
pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat alami (fitrah) (Ash-Shadr
1995: 29). Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk
pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak
hanya didapatkan dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan
hanya merupakan upaya memahami empirikal. Sementara, pemahaman rasional
mengandung makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan
pengetahuan-pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.
Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir
rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena
kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika
berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas
maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena
itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu
pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme,
empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan (Hidajat
1984b). Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap
benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian
atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak
boleh dibantah dan diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran
pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan
kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir (Kamus
Dewan 1994: 311 & 978) dan (Kamus Umum Bahasa Indonesia 1995: 239 &
729). Dari terminologi di atas dogma dan paradigma sebenarnya mempunyai kaitan
makna, karena paradigma merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer.
Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya
sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan
sendirinya (Hidajat 1984a). Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma
dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya
rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang
dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif
maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai
kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi
yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan
memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu
pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup
dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia.
Oleh karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang
oleh dirinya sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya
kita telah berupaya memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab
permasalahan kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan
kehidupan saat ini sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis
yang kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak
pada seluruh aspek kehidupan (Capra 1999). Dengan demikian jika kita
mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan
kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma ilmu pengetahuan
merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup serius (Kuhn 1970).
Problem
Sains Barat
Karena
kemampuan dasar manusia adalah mengetahui, maka pertanyaannya adalah dari mana
atau melalu apa saja manusia itu memperoleh pengetahuannya dan untuk apa
pengetahuan itu? Pertanyaan ini juga menentukan hal yang mau di tuju dari
istilah sains ini. Lagi-lagi ini perlu memposisikan diri terlebih dahulu kepada
perspektif, sebab beda perspektifnya akan beda pula maksud dan tujuannya.
Bagi kalangan Barat modern, tentu yang namanya sains itu adalah sekedar pengetahuan manusia yang bisa dicerna oleh panca indera belaka. Selain yang seperti itu tidak sah disebutkan sains.
Bagi kalangan Barat modern, tentu yang namanya sains itu adalah sekedar pengetahuan manusia yang bisa dicerna oleh panca indera belaka. Selain yang seperti itu tidak sah disebutkan sains.
Melalui
verifikasi yang disebut saintifik empirislah kemudian pengetahuan itu disebut
ilmiah. Jika tidak, maka gugurlah dari keilmiahannya. Dengan batasan ini maka
berarti sangat sedikit sekali pengetahuan manusia yang disebut sains. Padahal
asalnya tidak demikian. Mengapa ia menjadi sempit begitu? Jawabannya adalah
akibat lahirk dunia modern sekarang ini.
Zaman
Modern ini tidak bisa dilepaskan dari proses panjang peradaban di Barat dari
berbagai aspeknya. Jika Barat modern adalah hasil dari sekularisasi, berarti
paradigma sains modern juga berparadigma sekuler.
Ciri
khas sains Barat ini adalah empiris dan rasional. Persoalannya, ada banyak
pengetahuan manusia yang metaempiris dan juga metarasional. Intinya banyak ilmu
yang melintasi (trancend) batas-batas indera dan rasio. Apalagi konsep rasio di
Barat, meminjam istilah al-Attas, telah terpisahkan dari intellectus. Maka
konsekuensinya adalah paradigma Barat yang sekuler ini akan secara total
mengiliminasi pengetahuan manusia yang sebetulnya lebih penting lagi dari pada
sekedar sains Barat itu. Tak ada wahyu atau intuisi sebagai sumber ilmu dalam
kamus mereka (Barat modern).
Lalu
apa saja pengetahuan manusia selain sains Barat ini? Pertanyaan ini bisa
ditelusuri dengan melihat saluran pengetahuan yang digunakan. Sebagaimana
terdapat dalam Islam, pengetahuan manusia bisa melalui berbagai saluran. Dari
yang terendah adalah panca indera, kemudian naik kepada yang lebih tinggi
adalah akal, lalu intuisi dan yang terakhir adalah wahyu.
.
Jadi
secara khirarkhis, panca indera adalah saluran terendah sampainya pengetahuan
kepada manusia. Panca indera bertugas menangkap partikular-partikular pada
dunia sekitar diri manusia. Inilah yang melahirkan pengetahuan praktis empiris.
Hasil cerapan empiris ini yang kemudian menjadi ilmu sains modern saat ini,
setelah dimantapkan dan dibakukan oleh analisa rasional praktikal dan
ditetapkan sebagai yang saintifik oleh beberapa kalangan di Vienna Circle
dahulu. Di sinilah terjadi pembatasan sains itu hanya kepada pengetahuan yang
empiris saja.
Sengaja atau tidak, pembatasan sains kepada yang empiris ini sebetulnya merupakan semangat sekuler sebagai nilai utama yang terkandung di dalamnya. Sebab, ini merupakan proses penyingkiran aspek-aspek spiritual dalam sains.
Sengaja atau tidak, pembatasan sains kepada yang empiris ini sebetulnya merupakan semangat sekuler sebagai nilai utama yang terkandung di dalamnya. Sebab, ini merupakan proses penyingkiran aspek-aspek spiritual dalam sains.
Wajar
kalau seorang Syed Hussein Nasr, misalnya, menganjurkan sakralisasi sains.
Sebab, dengan pembatasan sains kepada yang empiris berarti telah menganggap
sains itu lepas dari kesakralan atau nilai-nilai ilahi. Netral adalah kata
ajaib bagi desakralisasi sains. Jika diteruskan pembatasan sains ini maka akan
mengajak para penggiatnya menjadi ateis, karena berarti menjadi terbebas dari
hegemoni agama.
Ini yang sepertinya juga memancing seorang al-Attas turun tangan menangani problem ini.
Ini yang sepertinya juga memancing seorang al-Attas turun tangan menangani problem ini.
Al-Attas
malah menganggap problem ini sebagai agenda filosofis Barat modern yang telah
menyumbang malapetaka terbesar bagi umat saat ini. Tiga kerajaan besar telah
porak poranda akibat pembatasan sains dan penerapannya ini. Mereka adalah
kerajaan hewan, kerajaan tumbuh-tumbuhan dan kerajaan air. Manusia seakan
sedang terseret kepada arus pengrusakan alam dan lingkungan akibat dari konsep
sains yang sempit ini. Ini merupakan penyakit dari Barat yang disebarkan ke
seluruh dunia. Inilah yang kemudian dikenal dengan pembaratan (westernization),
suatu proses mengikuti tren Barat yang sedikit demi sedikit tengah menuju
kepada kehancuran dunia.
Dengan terbitnya buku Newton (pada tahun 1686) yang
berjudul “Philosophiae Naturalis Principia Mathematica” maka muncullah suatu
babak baru dalam dunia sains modern. Teori gravitasi Newton telah mendorong
ilmu pengetahuan berkembang pesat di dunia Barat. Perkembangan IPTEK tersebut
ditandai oleh adanya rentetan temuan-temuan baru seperti temuan tentang listrik
(Michael Faraday), gaya elektromagnetik (James Clerk Maxwell, 1870) dalil
temuan Sinar-X (Henry Bacquerel). Dengan adanya penemuan tersebut maka banyak
masalah praktis dalam kehidupan manusia yang dapat diselesaikan dengan cepat
dan tepat. Manusia mulai menikmati dan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam
perkembangan teknologi pangan/pertanian, transportasi, genetika, industri dan
komunikasi. Dampak dari kemajuan IPTEK tersebut adalah terjadinya akselerasi
pertumbuhan penduduk dan peningkatan kemakmuran yang sangat pesat. Puncak
perkembangan IPTEK terjadi mulai awal abad 20 yang ditandai dengan munculnya
Tcori RelatiFitas Einstein (1905). Teori ini menyatakan bahwa empat komponen
mekanistis yakni zat, gerak, ruang dan waktu (yang diasumsikan bersifat absolut
oleh Newton) merupakan sesuatu yang bersifat relatif. Zat pada prinsipnya hanya
merupakan bentuk lain dari energi, dengan rumus yang termasyur E = mc2. Dengan
kata lain, munculnya teori ini sekaligus mengakhiri era kejayaan Newtonian.
Teori Relativitas tersebut ternyata dalam waktu relatif singkat mendorong
terjadinya revolusi besar di bidang pemanfaatan energi atom, komunikasi
persenjataan dan bahkan sampai ke penjelajahan ruang angkasa. Sekali lagi, seolah-olah
manusia dilecut untuk melihat kenyataan bahwa rasio atau akal telah ‘memandu’
dunia ke era yang spektakuler. Rasio seolah-olah menjadi tumpuan dan harapan
utama dalam pengembangan kehidupan manusia di dunia Barat maupun di kalangan
masyarakat lain yang berkiblat ke dunia Barat. Tahta’ kejayaan rasio
Barat mulai tergetar saat born atom yang dianggap merupakan salah satu “produk
gemilang” IPTEK, menelan korban ratusan ribu jiwa manusia di Hiroshima dan
Nagasaki pada tahun 1945. Manusia mulai tergelitik untuk berpikir “apakah rasio
manusia boleh tetap dibiarkan terus menjelajah bebas tanpa kendali?”.
Sampai di penghujung abad 20, kemajuan IPTEK masih terus berjalan pesat, bahkan
temuan temuan terkini di bidang telekomunikasi, komputerisasi dan keruang-angkasaan
telah membuat seolah-olah bumi menjadi sebuah titik kecil di tengah
belantara rasio”. Namun demikian kegelisahan semakin terasa
mengingat manusia semakin diperhadapkan pada kenyataan yang
bersifat kontroversial dengan ‘apa yang diharapkan orang dari penjelajahan
rasionya .Kemajuan pesat IPTEK Barat telah menunjukan bukti munculnya
kehancuran.
Apa
yang perlu dilakukan?
Jika
ada agenda sistematis dan terstruktur yang disebut westernisasi, maka perlu
membuat upaya sebaliknya, yakni dewesternisasi. Dalam konteks sains ini kita
perlu menyadarkan, tidak cukup sekedar membuktikan karena sudah jelas-jelas
terbukti, bahwa sains ini tidak sekedar empiris, tapi melintasi dunia empiris
(transempiric). Hal itu karena beberapa alas an berikut.
Pertama,
secara bahasa. Seperti disebutkan di atas, sains ini berasal dari bahasa Latin scientia yang mempunyai
kata dasar scire (to
know). Ini dalam bahasa lainnya knowledge
(Bahasa Inggris), ilm
(Bahasa Arab), pengetahuan (Bahasa Indonesia). Jadi sebetulnya baik
sains, ilmu, pengetahuan, setara dan sama-sama umum. Jika demikian adanya, maka
perlu pendefinisian ulang sains itu sebagai pengetahuan yang tidak saja
empiris, tapi transempiris.
Kedua,
secara historis. Yang membuat istilah sains terbatas adalah proses panjang
Barat menjadi sekuler. Artinya sains modern yang sempit itu adalah buah
sekularisasi. Oleh karena itu, perlu desekularisasi sains. Ini bermakna, ada
upaya mengembalikan sains kepada pengertian yang lebih menyeluruh dan utuh,
bukan sempit dan partikular.
Ketiga,
alasan epistemologis. Salah satu yang menjadi problem utama sains menjadi
sempit itu secara epistemologis adalah penggunaan saluran ilmu tertentu dan
menghilangkan saluran ilmu yang lain yang bagi hakekat diri manusia justru itu
yang paling penting.
Sumber
ilmu yang tertinggi dan yang paling penting itu adalah wayu. Wahyu adalah
pemberi informasi tentang ilmu-ilmu yang tertinggi secara hirarkhis. Biar pun
gemerlapnya sains saat ini, ilmu para Nabi yang diturunkan melalui wahyu itulah
yang tertinggi. Sebab itulah para Nabi dan rasul diturunkan, yakni untuk
mengingatkan akan urgennya ilmu ilahi diketahui oleh umat manusia.
Pengembalian
makna sains sempit kepada yang luas dan yang sebenarnya inilah yang dimaksud di
sini dengan transempirikal sains. Melintaskan sains dari sekedar empiris kepada
yang rasional, intuitif bahkan profetik. Dengan demikian, maka akan muncul
sederet nama-nama sains yang beragam dari saluran ilmu yang berbeda, seperti
halnya yang pernah diklasifikasi oleh al-Farabi dalam kitab Ihsa’-nya, atau oleh
al-Ghazali dalam Ihya’-nya.
III.
KESIMPULAN.
Sains
merupakan suatu metode berpikir secara objektif. Tujuannya menggambarkan dan
memberi makna pada dunia yang faktual. Sains adalah gambaran yang lengkap dan
konsisten tentang berbagai fakta pengalaman dalam suatu hubungan yang mungkin
paling sederhana (simple possible terms). Sains dalam hal ini merujuk kepada
sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan
dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena yang
terjadi di alam .
Sekilas
memang istilah sains ini sudah mapan, sehingga susah mengubah arus paradigma
yang membelenggu masyarakat tentangnya. Namun apabila kita perhatikan betul-betul,
ada yang janggal dengan sebutan penggunakan istilah ini. Kata sains kononnya
disadur dari bahasa Latin Scire
(to know) dan scientia
(knowledge).
Secara literal sains mempunyai makna pengetahuan. Aktivitas mengetahui ini
adalah suatu yang sangat mendasar bagi manusia. Sebab dengan kemampuan
mengetahui ini, manusia menjadi berbeda dari pada binatang dan makhluk-makhluk
lainnya. Singkatnya, boleh dikatakan bahwa pengetahuan ini aspek khusus yang
menjadikan manusia menjadi manusia.
Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa sains itu adalah pengetahuan manusia, siapa
saja, tentang sesuatu apapun di manapun dan kapanpun. Jadi kalau dirujuk kepada
makna asalnya sains mempunyai makna yang sangat luas, umum dan universal.
Dikatakan sangat luas karena ia tidak membatasi ilmu tertentu untuk dikatakan
sains. Apa saja yang menjadi pengetahuan manusia, itulah sains.
Dikatakan
umum, karena tidak saja ilmunya yang luas, tapi juga tidak khusus kepada
kelompok tertentu, tidak khusus kepada suatu kelompok kajian yang hanya
kelompoknya yang boleh mendefinisikannya, semisal Barat modern. Dikatakan
universal karena ia mempunyai partikular-partikular, atau disiplin-disiplin
yang menjadi bagian-bagiannya. Dan disiplin-disiplin itu tidak saja
pengetahuan-pengetahuan empiris, tapi meliputi segala macam ilmu. Alhasil, kata
sains berlaku kepada jenis pengetahuan apa saja.
Kelebihan dan kekurangan sains
Kelebihan sains yaitu:
1.
Sains
telah memberikan banyak sumbangannya bagi umat manusia, misalnya dalam perkembangan
sains dan teknologi kedokteran, sains dan teknologi komunikasi dan informasi.
2.
Dengan
sains dan teknologi memungkinkan manusia dapat bergerak atau bertindak dengan cermat dan tepat, efektif
dan efisien karena sains dan teknologi merupakan hasil kerja pengalaman,
observasi, eksperimen dan verifikasi.
Kelemahan
sains yaitu:
1. Sains bersifat objektif, menyampingkan
penilaian yang bersifat subjektif.Sains menyampingkan tujuan hidup, sehingga
dengan demikian sains/ teknologi tidak bisa dijadikan pembimbing bagi manusia
dalam menjalani hidup ini.
2.
Sains
membutuhkan pendamping dalam operasinya. Menurut Albert
Einstein, "Sains tanpa agama lumpuh,
dan agama tanpa sains adalah buta (Science without
religion is lame, religionwithout sains is blind).
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Lorens, 1996. Kamus Filsafat, Penerbit P.T.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Bird, A; 2000. Philosophy of Science, Fundamental of Philosophy,
Series Editor: John Shand U.C.L. Press, Taylor & Francis Group, London.
Blashov, Y. and Rosenberg, A; 2002. Philosophy
of Science Contemporary Readings, Routledge, Taylor & Francis
Group, London and New York.
Kattsoff, L; O; 1996. Pengantar Filsafat (Alih Bahasa, Sumargono), Penerbit
Tiara Wacana Yogyakarta.
Ofm, Alex Lanur; 1983. Logika Selayang Pandang, Penerbit
kanisius, yogyakarta.
Poedjawijatna, I;R;
1980. Pembimbing ke Arah Filsafat,
Cetakan Kelima, Penerbit P.T.Pembangunan,
Jakarta.
Siswomihardjo, Kunto,
Wibisono, tt. Hubungan Filsafat Ilmu
Pengetahuan dan Budaya, (Bahan
Kuliah untuk Program S-2 dan S-3 di UGM)
————–, 1985. Ilmu Filsafat dan Aktualitasnya dalam
Pembangunan Nasional, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Pada Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
————–, 1989. Materi Pokok Dasar-Dasar Filsafat, (Universitas Terbuka), Penerbit Kurnia, Jakarta.
Suriasumantri, Jujun,
1997. Ilmu dalam Persfektif
Sebuah Kumpulan Karangan Hakekat Ilmu, Cetakan Ketigabelas,
Penerbit Yayasan Obor, Indonesia.
————–, 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan kesebelas, Penerbit Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
Van Peursen, 1980. Susunan Ilmu Penegetahuan, Sebuah Pengantar
Filsafat Ilmu (Terjemahan J.
Drost), Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar